Minggu, 23 November 2008
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM MEREFORMASI KINERJA BIROKRASI INDONESIA
Oleh : Fernanda Putra Adela
(Mahasiswa Pasca Sarjana UGM)
1. Latar Belakang Penulisan
Kebudayaan merupakan salah satu bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Hampir seluruh bagian kehidupan bangsa Indonesia lahir dan punya kaitan erat dengan kebudayaan yang ada. Dari pola pikir hingga prilaku yang menjadi kebiasaan bangsa ini, selalu berkaitan erat dan bertitik tolak dari latar belakang budaya yang dihidupi. Hal ini dapat dilihat dalam pola prilaku dan kinerja yang terjadi dalam birokrasi Indonesia. Dari masa orde baru bahkan hingga masa kini pola dan kinerja birokrasi pemerintahan Indonesia sangat didominasi oleh berbagai budaya Indonesia seperti feodalisme, patrimonialisme dan paternalistik.
Hal ini tentunya merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Birokrasi sebagai sebuah organisasi, tidak berada serta bekerja dalam ruang hampa. Birokrasi lahir dan bertumbuh dalam sebuah kehidupan manusia yang selalu memiliki kebudayaan yang memungkinkan terciptanya sebuah akulturasi dan asimilasi antara birokrasi dan kebudayaan masyarakat setempat. Sehingga dengan demikian kinerja dan karakteristik birokrasi di suatu daerah akan selalu punya kaitan erat dengan latar belakang budaya setempat dan masyarakat yang menghidupi kebudayaan tersebut.
Ketika digulirkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, berbagai kompleksitas persoalan muncul. Salah satu adalah tidak berjalannya kebijakan efektifitas dan efesiensi dalam proses pemberian pelayanan terhadap publik. Berbagai kultur patrimonial, feodalisme dan paternalistik yang bertumbuh dan mengakar dalam birokrasi orde baru, menjadikan birokrasi belum mampu menanggapi dan melaksanakan berbagai idealisme yang diusung oleh desentralisasi. Maka dari itu, saat ini telah muncul begitu banyak sistem yang dicoba untuk memperbaiki kinerja birokrasi saat ini.
Pertanyaannya, dimanakah peran masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi saat ini? Masyarakat sebagai agen dan pelaku kebudayaan tentunya memiliki peran yang besar dalam memperbaiki kinerja birokrasi saat ini. Berbagai kinerja buruk yang dibangun birokrasi saat ini tidak terlepas dari kebudayaan dan cara pandang masyarakat terhadap birokrasi. Maka dari itu, masyarakat sebagai pencipta dan pelaku kebudayaan tentunya dapat memainkan peran yang penting dalam memperbaiki prilaku dan kinerja para birokrat. Berbagai sistem yang ditawarkan tentunya akan menjadi obat yang manjur, ketika masyarakat sebagai bagian paling sentral dalam pelayanan publik turut terlibat dalam membenahi kinerja birokrasi.
2. Rumusan Masalah
Reformasi birokrasi adalah salah satu wacana terhangat saat ini, hampir selalu didiskusikan dan dibahas baik oleh para akademisi, praktisi maupun aktivis sosial. Setelah jatuhnya orde baru dan bergulirnya kebijakan, restruktirisasi birokrasi menjadi suatu tema yang menarik. Akan tetapi, dari berbagai pembahasan itu, penekanan pada peran masyarakat dalam mereformasi hampir jarang didengar. Maka dari itu dalam tulisan ini, penulis ingin mengangkat peran masyarakat dalam memperbaiki kinerja dan mengubah kultur birokrasi yang ada saai ini. Permasalahan ini dapat sebagai berikut: Bagaimana peran masyarakat dalam mereformasi kinerja dan kultur birokrasi menjadi sebuah birokrasi yang melaksanakan pelayanan secara efektif, efesien dan berorientasi pada pelayanan publik?
3. New public service dan peran masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi
New public service merupakan pola terbaru era ini dalam mereformasi kinerja birokrasi. New public service adalah salah satu sistem yang berusaha memperbaiki kinerja birokrasi dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam memperbaiki kinerja birokrasi. Dalam sistem new public service, ditawarkan sebuah perubahan yang sangat signifikan dalam proses memformulasikan dan mengimplemantasikan kebijakan pemerintah berkaitan dengan pelayanan terhadap publik. Jika dalam sistem-sistem lain proses perumusan kebijakan hanya melibatkan pemerintah dan swasta maka dalam new public service sebaliknya. Dalam new public service dominasi pemerintah yang sangat besar dalam penentuan sebuah kebijakan dilepaskan dan pemerintah mulai terbuka terhadap partisipasi banyak individu, kelompok dan berbagai institusi yang berada di luar pemerintah.
Kerangka new public service sendiri terdiri dari tiga komponen utama (good governance) yakni negara (pemerintah), market (pasar) dan masyarakat yang sering disebut sebagai citizen. Dalam kerangka ini, ketiga komponen ini memainkan peran yang sama penting dalam menentukan berbagai kebijakan. Suatu hal yang baru dalam hal ini adalah keterlibatan masyarakat sebagai citizen, di mana masyarakat memainkan peran yang penting sebagai pemberi mandat kepada pemerintah untuk melaksanakan berbagai kebijakan publik (dengan diimbangi kewajiban untuk membayar pajak). Dengan sebuah sistem demoratic governance, new public service memantapkan dirinya untuk mereformasi birokrasi dengan membuka ruang yang sebesar-besarnya terhadap partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam berbagai kebijakan publik.
Proses kebijakan yang terbuka dan partisipatif sendiri adalah salah satu ciri penting dari tata pemerintahan (birokrasi) yang baik. Dengan kebijakan yang membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat, setiap stakeholder akan dengan mudah memahami alasan sebuah tindakan perlu dilakukan oleh pemerintah. Mereka juga dapat dengan mudah mengetahui keinginan yang sebenarnya dari pemerintah ketika pemerintah melaksanakan kebijakan tertentu. Sehingga dengan demikian stakeholders dapat dengan mudah untuk mengambil sikap untuk mendukung atau menolak kebijakan-kebijakan yang diambil dan dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu proses kebijakan ini kemudian harus didukung oleh berbagai hal berupa akuntabilitas, transparansi, keadilan, responsifitas, kesamaan dan kepastian hukum. Karena kinerja birokrasi akan menjadi baik ketika para aktor-aktor yang terlibat dalam pengambilan dan pelaksanaan menggunakan kekuasaan yang berdasarkan prinsip-prinsip tadi.
Dalam konteks Indonesia, keterlibatan masyarakat untuk memperbaiki kinerja dan kultur birokrasi Indonesia seperti yang ditawarkan oleh new public service tentunya harus dilihat dalam kerangka permasalahan utama yang menyebabkan rendahnya mutu kinerja birokrasi. Dalam hal ini keterlibatan masyarakat tidak hanya dilihat sebagai bagian dari keterlibatan dalam menentukan berbagai kebijakan. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa salah satu hal mendasar yang menyebabkan rendahnya kinerja birokrasi adalah budaya yang berada di sekitarnya. Birokrasi lahir dan berkembang dalam sejarah manusia, karena itu birokrasi senantiasa dibentuk, dijalankan dan diarahkan oleh manusia. Bahkan walaupun hadir sebagai institusi yang objektif namun secara mendasar pelaksanaan birokrasi tetap bersumber pada aktivitas manusiawi dan tidak dapat terlepas dari tingkah polah manusia. Karena itu dalam wacana memperbaiki kinerja birokrasi yang melibatkan masyarakat, kebudayaan yang membentuk kultur birokrasi harus menjadi fokus dan titik tolak utama bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif. Masyarakat sebagai agen kebudayaan tentunya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan dalam kultur yang tercipta dalam kehidupan birokrasi. Yang kemudian akan berkorelasi secara langsung maupun tidak langsung dalam membentuk kultur-kultur positif dalam diri birokrasi.
Salah satu hal paling konkret berkaitan dengan hal ini dapat dilihat dalam kultur kebudayaan jawa yang membentuk sebuah kultur feodalisme dalam birokrasi di jawa dan Indonesia pada umumnya. Di daerah jawa, terbentuk dari kelompok elite birokrasi berawal dari dipilihnya para raja dan bangsawan untuk membantu Belanda mengatur kehidupan masyarakat. Dengan kekuasaan yang dimiliki para raja serta bangsawan, Belanda percaya bahwa masyarakat akan patuh terhadap apa yang diperintahkan dan segala hal yang telah diatur oleh Belanda.
Akar pembentukkan birokrasi ini kemudian membawa konsekuensi hubungan politik, sosial dan kultural di antara birokrat dan masyarakat. Persepsi-persepsi budaya yang telah tercipta dalam masyarakat jawa, menjadikan masyarakat jawa sangat menghormati para birokrat dan tidak berani melawan serta menuntut pelayanan yang layak dari para birokrat. Lalu di lain sisi, persepsi sosial tersebut menjadikan para birokrat memposisikan diri lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan. Hal ini dapat dilihat dalam mentalitas sebagian besar birokrat yang tidak mencerminkan adanya budaya persamaan kedudukan diantara birokrasi dan masyarakat yang harus dilayani. Karena itu implikasi yang sering terjadi, tipe pelayanan yang terjadi sangat bercorak feodal, di mana budaya melayani sangat jauh dari yang diharapkan karena para birokrat masih melihat diri mereka sebagai bangsawan yang jauh dari masyarakat.
Selain itu, sering juga terjadi bahwa kultur-kultur negatif yang tercipta dalam sistem kerja birokrasi punya kaitan erat dengan dengan cara pandang masyarakat terhadap birokrasi dan bagaimana masyarakat memperlakukan birokrasi. Di mana dalam hal ini, masyarakat secara sadar maupun tidak sadar terlibat dalam menanam dan mempertahankan kultur korupsi pada diri birokrat (selain karena budaya korupsi dan kolusi yang telah tertanam sejak orde baru). Hal ini secara konkret dapat terjadi ketika masyarakat meminta dan menuntut sebuah pelayanan dari birokrasi. Tidak jarang yang terjadi bahwa masyarakat sering melihat bahwa pelayanan birokrasi tidak lebih dari sebuah produk yang dapat diperjualbelikan. Di mana untuk mendapatkan sebuah produk yang maksimal dan lancar, masyarakat harus mengeluarkan sejumlah uang dan menyogok sana sini agar tidak menghambat pekerjaan mereka.
Ironisnya hal ini justru membudaya dalam kinerja birokrasi. Karena dalam kenyataan, masyarakat kadang tidak merasa keberatan saat harus mengeluarkan biaya atau bayaran tambahan dalam menikmati pelayanan publik. Sebagian masyarakat bahkan melihat bahwa pungutan liar ini sebagai suatu hal yang biasa dan wajar. Maka bertolak dari hal ini, terdapat sebuah indikasi yang jelas bahwa praktik korupsi sudah menjadi budaya dalam birokrasi dan dapat diterima dalam kehidupan masyarakat.
Berangkat dari hal ini, dapat dikatakan bahwa secara mendasar cara pandang masyarakat terhadap birokrasi punya implikasi yang erat dalam membentuk kultur kinerja birokrasi. Ketika masyarakat tetap mempertahankan cara pandangnya dan tetap memperlakukan birokrasi sedemikian rupa maka sistem dan kinerja birokrasi tidak akan berubah. Saat masyarakat tetap melihat sogok menyogok, korupsi dan kolusi sebagai suatu hal yang lumrah dalam sebuah pelayanan maka sampai kapan pun mutu pelayanan birokrasi tidak akan berubah dan tidak akan pernah terlepas dari apa yang disebut sebagai budaya KKN.
Oleh karena itu, bertolak dari kedua hal sederhana di atas, dapat dijelaskan bahwa budaya, kultur, cara pandang masyarakat terhadap birokrasi serta prilaku masyarakat dalam memperlakukan birokrasi, mempunyai implikasi yang besar terhadap kinerja birokrasi. Dan perubahan dalam cara pandang masyarakat tentunya pula akan mengubah kinerja birokrasi secara langsung maupun tidak langsung. Pertanyaannya, sejauh manakah akses masyarakat untuk terlibat mengubah kinerja dan kultur negatif yang telah lama tertanam dalam birokrasi? adalah suatu pertanyaan real yang perlu dijawab.
Munculnya sistem new public service dalam pergulatan birokrasi Indonesia menuju pelayanan yang efektif dan efesien adalah salah satu sistem yang menawarkan ruang bagi keaktifan dan partisipasi masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi. Akan tetapi dalam konteks Indonesia, keterlibatan masyarakat seperti yang ditawarkan oleh new public service harus dilihat dalam konsep interaksi dan keterlibatan masyarakat dalam merubah kebudayaan dan pola pikir negatif yang telah membentuk kultur negatif dalam kinerja birokrasi. Masyarakat sebagai agen dan pelaku nilai-nilai kebudayaan dalam hal ini tentunya memiliki yang peran sangat signifikan untuk turut serta merubah kultur serta kinerja buruk birokrasi saat ini.
Salah satu hal yang paling sederhana yang dapat dimulai oleh masyarakat ialah dengan mengubah cara pandang (mindset) yang salah mereka terhadap birokrasi. Salah satu hal yang sering diabaikan oleh masyarakat ialah birokrasi jarang dilihat sebagai organisasi masyarakat yang bertugas untuk melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat, di mana pelayanan tersebut adalah hak yang harus mereka terima sebagai warga negara. Sebaliknya yang sering terjadi ialah masyarakat memandang pelayanan sebagai produk yang diperjualbelikan dan mengeluarkan biaya tambahan adalah suatu hal yang lumrah dalam memperoleh sebuah pelayanan yang berkualitas. Hal-hal sederhana inilah yang harus dirubah masyarakat. Walaupun sederhana, inilah wujut keterlibatan paling nyata yang dapat dilaksanakan dalam mereformasi kinerja birokrasi. Karena walaupun bertolak dari hal yang paling sederhana, secara esensial hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam memperbaiki kinerja birokrasi. Dalam pelayanan publik, masyarakat adalah subyek dan obyek dari pelayanan tersebut dan mengubah mindset masyarakat dalam menuntut memperbaiki kinerja pelayanan publik adalah salah satu hal paling utama.
4. Kesimpulan
Kinerja pelayanan publik menjadi salah satu dimensi strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi. Ketika publik atau masyarakat umum mendapatkan kepuasan dalam pelayanan yang diberikan maka pada posisi yang sama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dinilai sukses. Hal ini tentunya beralasan, karena secara mendasar para akademisi melihat bahwa ada hubungan yang simetris antara pemerintah birokrasi dan otonomi daerah. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah akan selalu diukur dari kualitas kinerja birokrasi di daerah-daerah dan kepuasan masyarakat terhadap kinerja tersebut.
Sepuluh tahun otonomi daerah berjalan, wajah pemerintahan di daerah-daerah belum banyak mengalami perubahan. Dengan bertolak dari hubungan simetris di atas, benang merah yang menyebabkan kagagalan otonomi daerah adalah ketidaksiapan pemerintah daerah menanggapi kebijakan ini dan kinerja birokrasi yang masih di dominasi oleh kultur orde baru.
Keadaan birokrasi yang sedemikian buruk ini memaksa pemerintah untuk berusaha menerapkan berbagai sistem yang dapat memacu kinerja dan merubah kultur-kultur negatif yang terdapat dalam birokrasi. Salah satu sistem yang dipakai hingga saat ini adalah new public management. Tetapi sejauh ini, pola ini belum mampu merubah kinerja birokrasi Indonesia. Salah satu alasannya adalah kurang dilibatkannya masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi. Dengan kondisi birokrasi Indonesia yang secara umum dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai budaya yang berada di sekitarnya, masyarakat sebagai agen dan pelaku budaya kurang diberi peran oleh new public management untuk mengubah kultur-kultur negatif dalam birokrasi.
Dengan kultur negatif yang sebagian besar dipengaruhi oleh kebudayaan setempat, new public service adalah salah satu tawaran terbaik untuk mereformasi kultur dan kinerja birokrasi saat ini. Dengan menekankan democracy governance, new public service membuka ruang bagi partisipasi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam merubah birokrasi. Dari hal yang paling sederhana hingga hal paling kompleks dimana dituntut hal-hal mendasar seperti akuntabilitas, new public service pada dasarnya telah membuka jalan bagi partisipasi masyarakat dalam berbagai hal termasuk dalam merubah kinerja birokrasi. Dengan latar belakang kebudayaan dan cara pandang yang menjadi dasar tercipta kultur negatif dalam birokrasi Indonesia, reformasi cara pandang masyarakat terhadap birokrasi yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan setempat harus diubah (dalam kaitan dengan merubah pola budaya feodalisme dan patrimonial dalam birokrasi).
Hal ini dapat dimulai dengan hal paling sederhana yakni dengan cara mengubah mindset masyarakat dalam melihat dan memperlakukan birokrasi. Karena itu berangkat dari hal ini, peran masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi adalah suatu hal paling penting dan paling utama. Birokrasi adalah sebuah organisasi yang selalu bersentuhan dengan manusia. Baik buruk kinerja akan selalu tergantung dari masyarakat yang menjadi subyek dan obyek dari sebuah pelayanan publik. Karena itu, masyarakat adalah tokoh sentral dan aktor utama yang harus dirubah ketika negara ingin mereformasi kinerja birokrasi yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Denhardt, Janet V. dan Robert B. Dendhart. 2003. New Public Service. New York & London: M. E. Sharpe.
Djadijono, M. (ed.). 2006. Membangun Indonesia Dari Daerah. Yogyakarta: Kanisius.
Dwiyanto, Agus. dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.
Dwiyanto, Agus. dkk. 2003. Reformasi Tata pemerintahan Dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.
Said, M. Mas’ud. 2007. Birokrasi Di Negara Birokratis. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Santoso, Priyo Budi. 1993. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
(Mahasiswa Pasca Sarjana UGM)
1. Latar Belakang Penulisan
Kebudayaan merupakan salah satu bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Hampir seluruh bagian kehidupan bangsa Indonesia lahir dan punya kaitan erat dengan kebudayaan yang ada. Dari pola pikir hingga prilaku yang menjadi kebiasaan bangsa ini, selalu berkaitan erat dan bertitik tolak dari latar belakang budaya yang dihidupi. Hal ini dapat dilihat dalam pola prilaku dan kinerja yang terjadi dalam birokrasi Indonesia. Dari masa orde baru bahkan hingga masa kini pola dan kinerja birokrasi pemerintahan Indonesia sangat didominasi oleh berbagai budaya Indonesia seperti feodalisme, patrimonialisme dan paternalistik.
Hal ini tentunya merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Birokrasi sebagai sebuah organisasi, tidak berada serta bekerja dalam ruang hampa. Birokrasi lahir dan bertumbuh dalam sebuah kehidupan manusia yang selalu memiliki kebudayaan yang memungkinkan terciptanya sebuah akulturasi dan asimilasi antara birokrasi dan kebudayaan masyarakat setempat. Sehingga dengan demikian kinerja dan karakteristik birokrasi di suatu daerah akan selalu punya kaitan erat dengan latar belakang budaya setempat dan masyarakat yang menghidupi kebudayaan tersebut.
Ketika digulirkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, berbagai kompleksitas persoalan muncul. Salah satu adalah tidak berjalannya kebijakan efektifitas dan efesiensi dalam proses pemberian pelayanan terhadap publik. Berbagai kultur patrimonial, feodalisme dan paternalistik yang bertumbuh dan mengakar dalam birokrasi orde baru, menjadikan birokrasi belum mampu menanggapi dan melaksanakan berbagai idealisme yang diusung oleh desentralisasi. Maka dari itu, saat ini telah muncul begitu banyak sistem yang dicoba untuk memperbaiki kinerja birokrasi saat ini.
Pertanyaannya, dimanakah peran masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi saat ini? Masyarakat sebagai agen dan pelaku kebudayaan tentunya memiliki peran yang besar dalam memperbaiki kinerja birokrasi saat ini. Berbagai kinerja buruk yang dibangun birokrasi saat ini tidak terlepas dari kebudayaan dan cara pandang masyarakat terhadap birokrasi. Maka dari itu, masyarakat sebagai pencipta dan pelaku kebudayaan tentunya dapat memainkan peran yang penting dalam memperbaiki prilaku dan kinerja para birokrat. Berbagai sistem yang ditawarkan tentunya akan menjadi obat yang manjur, ketika masyarakat sebagai bagian paling sentral dalam pelayanan publik turut terlibat dalam membenahi kinerja birokrasi.
2. Rumusan Masalah
Reformasi birokrasi adalah salah satu wacana terhangat saat ini, hampir selalu didiskusikan dan dibahas baik oleh para akademisi, praktisi maupun aktivis sosial. Setelah jatuhnya orde baru dan bergulirnya kebijakan, restruktirisasi birokrasi menjadi suatu tema yang menarik. Akan tetapi, dari berbagai pembahasan itu, penekanan pada peran masyarakat dalam mereformasi hampir jarang didengar. Maka dari itu dalam tulisan ini, penulis ingin mengangkat peran masyarakat dalam memperbaiki kinerja dan mengubah kultur birokrasi yang ada saai ini. Permasalahan ini dapat sebagai berikut: Bagaimana peran masyarakat dalam mereformasi kinerja dan kultur birokrasi menjadi sebuah birokrasi yang melaksanakan pelayanan secara efektif, efesien dan berorientasi pada pelayanan publik?
3. New public service dan peran masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi
New public service merupakan pola terbaru era ini dalam mereformasi kinerja birokrasi. New public service adalah salah satu sistem yang berusaha memperbaiki kinerja birokrasi dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam memperbaiki kinerja birokrasi. Dalam sistem new public service, ditawarkan sebuah perubahan yang sangat signifikan dalam proses memformulasikan dan mengimplemantasikan kebijakan pemerintah berkaitan dengan pelayanan terhadap publik. Jika dalam sistem-sistem lain proses perumusan kebijakan hanya melibatkan pemerintah dan swasta maka dalam new public service sebaliknya. Dalam new public service dominasi pemerintah yang sangat besar dalam penentuan sebuah kebijakan dilepaskan dan pemerintah mulai terbuka terhadap partisipasi banyak individu, kelompok dan berbagai institusi yang berada di luar pemerintah.
Kerangka new public service sendiri terdiri dari tiga komponen utama (good governance) yakni negara (pemerintah), market (pasar) dan masyarakat yang sering disebut sebagai citizen. Dalam kerangka ini, ketiga komponen ini memainkan peran yang sama penting dalam menentukan berbagai kebijakan. Suatu hal yang baru dalam hal ini adalah keterlibatan masyarakat sebagai citizen, di mana masyarakat memainkan peran yang penting sebagai pemberi mandat kepada pemerintah untuk melaksanakan berbagai kebijakan publik (dengan diimbangi kewajiban untuk membayar pajak). Dengan sebuah sistem demoratic governance, new public service memantapkan dirinya untuk mereformasi birokrasi dengan membuka ruang yang sebesar-besarnya terhadap partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam berbagai kebijakan publik.
Proses kebijakan yang terbuka dan partisipatif sendiri adalah salah satu ciri penting dari tata pemerintahan (birokrasi) yang baik. Dengan kebijakan yang membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat, setiap stakeholder akan dengan mudah memahami alasan sebuah tindakan perlu dilakukan oleh pemerintah. Mereka juga dapat dengan mudah mengetahui keinginan yang sebenarnya dari pemerintah ketika pemerintah melaksanakan kebijakan tertentu. Sehingga dengan demikian stakeholders dapat dengan mudah untuk mengambil sikap untuk mendukung atau menolak kebijakan-kebijakan yang diambil dan dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu proses kebijakan ini kemudian harus didukung oleh berbagai hal berupa akuntabilitas, transparansi, keadilan, responsifitas, kesamaan dan kepastian hukum. Karena kinerja birokrasi akan menjadi baik ketika para aktor-aktor yang terlibat dalam pengambilan dan pelaksanaan menggunakan kekuasaan yang berdasarkan prinsip-prinsip tadi.
Dalam konteks Indonesia, keterlibatan masyarakat untuk memperbaiki kinerja dan kultur birokrasi Indonesia seperti yang ditawarkan oleh new public service tentunya harus dilihat dalam kerangka permasalahan utama yang menyebabkan rendahnya mutu kinerja birokrasi. Dalam hal ini keterlibatan masyarakat tidak hanya dilihat sebagai bagian dari keterlibatan dalam menentukan berbagai kebijakan. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa salah satu hal mendasar yang menyebabkan rendahnya kinerja birokrasi adalah budaya yang berada di sekitarnya. Birokrasi lahir dan berkembang dalam sejarah manusia, karena itu birokrasi senantiasa dibentuk, dijalankan dan diarahkan oleh manusia. Bahkan walaupun hadir sebagai institusi yang objektif namun secara mendasar pelaksanaan birokrasi tetap bersumber pada aktivitas manusiawi dan tidak dapat terlepas dari tingkah polah manusia. Karena itu dalam wacana memperbaiki kinerja birokrasi yang melibatkan masyarakat, kebudayaan yang membentuk kultur birokrasi harus menjadi fokus dan titik tolak utama bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif. Masyarakat sebagai agen kebudayaan tentunya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan dalam kultur yang tercipta dalam kehidupan birokrasi. Yang kemudian akan berkorelasi secara langsung maupun tidak langsung dalam membentuk kultur-kultur positif dalam diri birokrasi.
Salah satu hal paling konkret berkaitan dengan hal ini dapat dilihat dalam kultur kebudayaan jawa yang membentuk sebuah kultur feodalisme dalam birokrasi di jawa dan Indonesia pada umumnya. Di daerah jawa, terbentuk dari kelompok elite birokrasi berawal dari dipilihnya para raja dan bangsawan untuk membantu Belanda mengatur kehidupan masyarakat. Dengan kekuasaan yang dimiliki para raja serta bangsawan, Belanda percaya bahwa masyarakat akan patuh terhadap apa yang diperintahkan dan segala hal yang telah diatur oleh Belanda.
Akar pembentukkan birokrasi ini kemudian membawa konsekuensi hubungan politik, sosial dan kultural di antara birokrat dan masyarakat. Persepsi-persepsi budaya yang telah tercipta dalam masyarakat jawa, menjadikan masyarakat jawa sangat menghormati para birokrat dan tidak berani melawan serta menuntut pelayanan yang layak dari para birokrat. Lalu di lain sisi, persepsi sosial tersebut menjadikan para birokrat memposisikan diri lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan. Hal ini dapat dilihat dalam mentalitas sebagian besar birokrat yang tidak mencerminkan adanya budaya persamaan kedudukan diantara birokrasi dan masyarakat yang harus dilayani. Karena itu implikasi yang sering terjadi, tipe pelayanan yang terjadi sangat bercorak feodal, di mana budaya melayani sangat jauh dari yang diharapkan karena para birokrat masih melihat diri mereka sebagai bangsawan yang jauh dari masyarakat.
Selain itu, sering juga terjadi bahwa kultur-kultur negatif yang tercipta dalam sistem kerja birokrasi punya kaitan erat dengan dengan cara pandang masyarakat terhadap birokrasi dan bagaimana masyarakat memperlakukan birokrasi. Di mana dalam hal ini, masyarakat secara sadar maupun tidak sadar terlibat dalam menanam dan mempertahankan kultur korupsi pada diri birokrat (selain karena budaya korupsi dan kolusi yang telah tertanam sejak orde baru). Hal ini secara konkret dapat terjadi ketika masyarakat meminta dan menuntut sebuah pelayanan dari birokrasi. Tidak jarang yang terjadi bahwa masyarakat sering melihat bahwa pelayanan birokrasi tidak lebih dari sebuah produk yang dapat diperjualbelikan. Di mana untuk mendapatkan sebuah produk yang maksimal dan lancar, masyarakat harus mengeluarkan sejumlah uang dan menyogok sana sini agar tidak menghambat pekerjaan mereka.
Ironisnya hal ini justru membudaya dalam kinerja birokrasi. Karena dalam kenyataan, masyarakat kadang tidak merasa keberatan saat harus mengeluarkan biaya atau bayaran tambahan dalam menikmati pelayanan publik. Sebagian masyarakat bahkan melihat bahwa pungutan liar ini sebagai suatu hal yang biasa dan wajar. Maka bertolak dari hal ini, terdapat sebuah indikasi yang jelas bahwa praktik korupsi sudah menjadi budaya dalam birokrasi dan dapat diterima dalam kehidupan masyarakat.
Berangkat dari hal ini, dapat dikatakan bahwa secara mendasar cara pandang masyarakat terhadap birokrasi punya implikasi yang erat dalam membentuk kultur kinerja birokrasi. Ketika masyarakat tetap mempertahankan cara pandangnya dan tetap memperlakukan birokrasi sedemikian rupa maka sistem dan kinerja birokrasi tidak akan berubah. Saat masyarakat tetap melihat sogok menyogok, korupsi dan kolusi sebagai suatu hal yang lumrah dalam sebuah pelayanan maka sampai kapan pun mutu pelayanan birokrasi tidak akan berubah dan tidak akan pernah terlepas dari apa yang disebut sebagai budaya KKN.
Oleh karena itu, bertolak dari kedua hal sederhana di atas, dapat dijelaskan bahwa budaya, kultur, cara pandang masyarakat terhadap birokrasi serta prilaku masyarakat dalam memperlakukan birokrasi, mempunyai implikasi yang besar terhadap kinerja birokrasi. Dan perubahan dalam cara pandang masyarakat tentunya pula akan mengubah kinerja birokrasi secara langsung maupun tidak langsung. Pertanyaannya, sejauh manakah akses masyarakat untuk terlibat mengubah kinerja dan kultur negatif yang telah lama tertanam dalam birokrasi? adalah suatu pertanyaan real yang perlu dijawab.
Munculnya sistem new public service dalam pergulatan birokrasi Indonesia menuju pelayanan yang efektif dan efesien adalah salah satu sistem yang menawarkan ruang bagi keaktifan dan partisipasi masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi. Akan tetapi dalam konteks Indonesia, keterlibatan masyarakat seperti yang ditawarkan oleh new public service harus dilihat dalam konsep interaksi dan keterlibatan masyarakat dalam merubah kebudayaan dan pola pikir negatif yang telah membentuk kultur negatif dalam kinerja birokrasi. Masyarakat sebagai agen dan pelaku nilai-nilai kebudayaan dalam hal ini tentunya memiliki yang peran sangat signifikan untuk turut serta merubah kultur serta kinerja buruk birokrasi saat ini.
Salah satu hal yang paling sederhana yang dapat dimulai oleh masyarakat ialah dengan mengubah cara pandang (mindset) yang salah mereka terhadap birokrasi. Salah satu hal yang sering diabaikan oleh masyarakat ialah birokrasi jarang dilihat sebagai organisasi masyarakat yang bertugas untuk melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat, di mana pelayanan tersebut adalah hak yang harus mereka terima sebagai warga negara. Sebaliknya yang sering terjadi ialah masyarakat memandang pelayanan sebagai produk yang diperjualbelikan dan mengeluarkan biaya tambahan adalah suatu hal yang lumrah dalam memperoleh sebuah pelayanan yang berkualitas. Hal-hal sederhana inilah yang harus dirubah masyarakat. Walaupun sederhana, inilah wujut keterlibatan paling nyata yang dapat dilaksanakan dalam mereformasi kinerja birokrasi. Karena walaupun bertolak dari hal yang paling sederhana, secara esensial hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam memperbaiki kinerja birokrasi. Dalam pelayanan publik, masyarakat adalah subyek dan obyek dari pelayanan tersebut dan mengubah mindset masyarakat dalam menuntut memperbaiki kinerja pelayanan publik adalah salah satu hal paling utama.
4. Kesimpulan
Kinerja pelayanan publik menjadi salah satu dimensi strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi. Ketika publik atau masyarakat umum mendapatkan kepuasan dalam pelayanan yang diberikan maka pada posisi yang sama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dinilai sukses. Hal ini tentunya beralasan, karena secara mendasar para akademisi melihat bahwa ada hubungan yang simetris antara pemerintah birokrasi dan otonomi daerah. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah akan selalu diukur dari kualitas kinerja birokrasi di daerah-daerah dan kepuasan masyarakat terhadap kinerja tersebut.
Sepuluh tahun otonomi daerah berjalan, wajah pemerintahan di daerah-daerah belum banyak mengalami perubahan. Dengan bertolak dari hubungan simetris di atas, benang merah yang menyebabkan kagagalan otonomi daerah adalah ketidaksiapan pemerintah daerah menanggapi kebijakan ini dan kinerja birokrasi yang masih di dominasi oleh kultur orde baru.
Keadaan birokrasi yang sedemikian buruk ini memaksa pemerintah untuk berusaha menerapkan berbagai sistem yang dapat memacu kinerja dan merubah kultur-kultur negatif yang terdapat dalam birokrasi. Salah satu sistem yang dipakai hingga saat ini adalah new public management. Tetapi sejauh ini, pola ini belum mampu merubah kinerja birokrasi Indonesia. Salah satu alasannya adalah kurang dilibatkannya masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi. Dengan kondisi birokrasi Indonesia yang secara umum dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai budaya yang berada di sekitarnya, masyarakat sebagai agen dan pelaku budaya kurang diberi peran oleh new public management untuk mengubah kultur-kultur negatif dalam birokrasi.
Dengan kultur negatif yang sebagian besar dipengaruhi oleh kebudayaan setempat, new public service adalah salah satu tawaran terbaik untuk mereformasi kultur dan kinerja birokrasi saat ini. Dengan menekankan democracy governance, new public service membuka ruang bagi partisipasi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam merubah birokrasi. Dari hal yang paling sederhana hingga hal paling kompleks dimana dituntut hal-hal mendasar seperti akuntabilitas, new public service pada dasarnya telah membuka jalan bagi partisipasi masyarakat dalam berbagai hal termasuk dalam merubah kinerja birokrasi. Dengan latar belakang kebudayaan dan cara pandang yang menjadi dasar tercipta kultur negatif dalam birokrasi Indonesia, reformasi cara pandang masyarakat terhadap birokrasi yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan setempat harus diubah (dalam kaitan dengan merubah pola budaya feodalisme dan patrimonial dalam birokrasi).
Hal ini dapat dimulai dengan hal paling sederhana yakni dengan cara mengubah mindset masyarakat dalam melihat dan memperlakukan birokrasi. Karena itu berangkat dari hal ini, peran masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi adalah suatu hal paling penting dan paling utama. Birokrasi adalah sebuah organisasi yang selalu bersentuhan dengan manusia. Baik buruk kinerja akan selalu tergantung dari masyarakat yang menjadi subyek dan obyek dari sebuah pelayanan publik. Karena itu, masyarakat adalah tokoh sentral dan aktor utama yang harus dirubah ketika negara ingin mereformasi kinerja birokrasi yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Denhardt, Janet V. dan Robert B. Dendhart. 2003. New Public Service. New York & London: M. E. Sharpe.
Djadijono, M. (ed.). 2006. Membangun Indonesia Dari Daerah. Yogyakarta: Kanisius.
Dwiyanto, Agus. dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.
Dwiyanto, Agus. dkk. 2003. Reformasi Tata pemerintahan Dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.
Said, M. Mas’ud. 2007. Birokrasi Di Negara Birokratis. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Santoso, Priyo Budi. 1993. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar