Minggu, 23 November 2008
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM MEREFORMASI KINERJA BIROKRASI INDONESIA
Oleh : Fernanda Putra Adela
(Mahasiswa Pasca Sarjana UGM)
1. Latar Belakang Penulisan
Kebudayaan merupakan salah satu bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Hampir seluruh bagian kehidupan bangsa Indonesia lahir dan punya kaitan erat dengan kebudayaan yang ada. Dari pola pikir hingga prilaku yang menjadi kebiasaan bangsa ini, selalu berkaitan erat dan bertitik tolak dari latar belakang budaya yang dihidupi. Hal ini dapat dilihat dalam pola prilaku dan kinerja yang terjadi dalam birokrasi Indonesia. Dari masa orde baru bahkan hingga masa kini pola dan kinerja birokrasi pemerintahan Indonesia sangat didominasi oleh berbagai budaya Indonesia seperti feodalisme, patrimonialisme dan paternalistik.
Hal ini tentunya merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Birokrasi sebagai sebuah organisasi, tidak berada serta bekerja dalam ruang hampa. Birokrasi lahir dan bertumbuh dalam sebuah kehidupan manusia yang selalu memiliki kebudayaan yang memungkinkan terciptanya sebuah akulturasi dan asimilasi antara birokrasi dan kebudayaan masyarakat setempat. Sehingga dengan demikian kinerja dan karakteristik birokrasi di suatu daerah akan selalu punya kaitan erat dengan latar belakang budaya setempat dan masyarakat yang menghidupi kebudayaan tersebut.
Ketika digulirkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, berbagai kompleksitas persoalan muncul. Salah satu adalah tidak berjalannya kebijakan efektifitas dan efesiensi dalam proses pemberian pelayanan terhadap publik. Berbagai kultur patrimonial, feodalisme dan paternalistik yang bertumbuh dan mengakar dalam birokrasi orde baru, menjadikan birokrasi belum mampu menanggapi dan melaksanakan berbagai idealisme yang diusung oleh desentralisasi. Maka dari itu, saat ini telah muncul begitu banyak sistem yang dicoba untuk memperbaiki kinerja birokrasi saat ini.
Pertanyaannya, dimanakah peran masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi saat ini? Masyarakat sebagai agen dan pelaku kebudayaan tentunya memiliki peran yang besar dalam memperbaiki kinerja birokrasi saat ini. Berbagai kinerja buruk yang dibangun birokrasi saat ini tidak terlepas dari kebudayaan dan cara pandang masyarakat terhadap birokrasi. Maka dari itu, masyarakat sebagai pencipta dan pelaku kebudayaan tentunya dapat memainkan peran yang penting dalam memperbaiki prilaku dan kinerja para birokrat. Berbagai sistem yang ditawarkan tentunya akan menjadi obat yang manjur, ketika masyarakat sebagai bagian paling sentral dalam pelayanan publik turut terlibat dalam membenahi kinerja birokrasi.
2. Rumusan Masalah
Reformasi birokrasi adalah salah satu wacana terhangat saat ini, hampir selalu didiskusikan dan dibahas baik oleh para akademisi, praktisi maupun aktivis sosial. Setelah jatuhnya orde baru dan bergulirnya kebijakan, restruktirisasi birokrasi menjadi suatu tema yang menarik. Akan tetapi, dari berbagai pembahasan itu, penekanan pada peran masyarakat dalam mereformasi hampir jarang didengar. Maka dari itu dalam tulisan ini, penulis ingin mengangkat peran masyarakat dalam memperbaiki kinerja dan mengubah kultur birokrasi yang ada saai ini. Permasalahan ini dapat sebagai berikut: Bagaimana peran masyarakat dalam mereformasi kinerja dan kultur birokrasi menjadi sebuah birokrasi yang melaksanakan pelayanan secara efektif, efesien dan berorientasi pada pelayanan publik?
3. New public service dan peran masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi
New public service merupakan pola terbaru era ini dalam mereformasi kinerja birokrasi. New public service adalah salah satu sistem yang berusaha memperbaiki kinerja birokrasi dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam memperbaiki kinerja birokrasi. Dalam sistem new public service, ditawarkan sebuah perubahan yang sangat signifikan dalam proses memformulasikan dan mengimplemantasikan kebijakan pemerintah berkaitan dengan pelayanan terhadap publik. Jika dalam sistem-sistem lain proses perumusan kebijakan hanya melibatkan pemerintah dan swasta maka dalam new public service sebaliknya. Dalam new public service dominasi pemerintah yang sangat besar dalam penentuan sebuah kebijakan dilepaskan dan pemerintah mulai terbuka terhadap partisipasi banyak individu, kelompok dan berbagai institusi yang berada di luar pemerintah.
Kerangka new public service sendiri terdiri dari tiga komponen utama (good governance) yakni negara (pemerintah), market (pasar) dan masyarakat yang sering disebut sebagai citizen. Dalam kerangka ini, ketiga komponen ini memainkan peran yang sama penting dalam menentukan berbagai kebijakan. Suatu hal yang baru dalam hal ini adalah keterlibatan masyarakat sebagai citizen, di mana masyarakat memainkan peran yang penting sebagai pemberi mandat kepada pemerintah untuk melaksanakan berbagai kebijakan publik (dengan diimbangi kewajiban untuk membayar pajak). Dengan sebuah sistem demoratic governance, new public service memantapkan dirinya untuk mereformasi birokrasi dengan membuka ruang yang sebesar-besarnya terhadap partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam berbagai kebijakan publik.
Proses kebijakan yang terbuka dan partisipatif sendiri adalah salah satu ciri penting dari tata pemerintahan (birokrasi) yang baik. Dengan kebijakan yang membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat, setiap stakeholder akan dengan mudah memahami alasan sebuah tindakan perlu dilakukan oleh pemerintah. Mereka juga dapat dengan mudah mengetahui keinginan yang sebenarnya dari pemerintah ketika pemerintah melaksanakan kebijakan tertentu. Sehingga dengan demikian stakeholders dapat dengan mudah untuk mengambil sikap untuk mendukung atau menolak kebijakan-kebijakan yang diambil dan dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu proses kebijakan ini kemudian harus didukung oleh berbagai hal berupa akuntabilitas, transparansi, keadilan, responsifitas, kesamaan dan kepastian hukum. Karena kinerja birokrasi akan menjadi baik ketika para aktor-aktor yang terlibat dalam pengambilan dan pelaksanaan menggunakan kekuasaan yang berdasarkan prinsip-prinsip tadi.
Dalam konteks Indonesia, keterlibatan masyarakat untuk memperbaiki kinerja dan kultur birokrasi Indonesia seperti yang ditawarkan oleh new public service tentunya harus dilihat dalam kerangka permasalahan utama yang menyebabkan rendahnya mutu kinerja birokrasi. Dalam hal ini keterlibatan masyarakat tidak hanya dilihat sebagai bagian dari keterlibatan dalam menentukan berbagai kebijakan. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa salah satu hal mendasar yang menyebabkan rendahnya kinerja birokrasi adalah budaya yang berada di sekitarnya. Birokrasi lahir dan berkembang dalam sejarah manusia, karena itu birokrasi senantiasa dibentuk, dijalankan dan diarahkan oleh manusia. Bahkan walaupun hadir sebagai institusi yang objektif namun secara mendasar pelaksanaan birokrasi tetap bersumber pada aktivitas manusiawi dan tidak dapat terlepas dari tingkah polah manusia. Karena itu dalam wacana memperbaiki kinerja birokrasi yang melibatkan masyarakat, kebudayaan yang membentuk kultur birokrasi harus menjadi fokus dan titik tolak utama bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif. Masyarakat sebagai agen kebudayaan tentunya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan dalam kultur yang tercipta dalam kehidupan birokrasi. Yang kemudian akan berkorelasi secara langsung maupun tidak langsung dalam membentuk kultur-kultur positif dalam diri birokrasi.
Salah satu hal paling konkret berkaitan dengan hal ini dapat dilihat dalam kultur kebudayaan jawa yang membentuk sebuah kultur feodalisme dalam birokrasi di jawa dan Indonesia pada umumnya. Di daerah jawa, terbentuk dari kelompok elite birokrasi berawal dari dipilihnya para raja dan bangsawan untuk membantu Belanda mengatur kehidupan masyarakat. Dengan kekuasaan yang dimiliki para raja serta bangsawan, Belanda percaya bahwa masyarakat akan patuh terhadap apa yang diperintahkan dan segala hal yang telah diatur oleh Belanda.
Akar pembentukkan birokrasi ini kemudian membawa konsekuensi hubungan politik, sosial dan kultural di antara birokrat dan masyarakat. Persepsi-persepsi budaya yang telah tercipta dalam masyarakat jawa, menjadikan masyarakat jawa sangat menghormati para birokrat dan tidak berani melawan serta menuntut pelayanan yang layak dari para birokrat. Lalu di lain sisi, persepsi sosial tersebut menjadikan para birokrat memposisikan diri lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan. Hal ini dapat dilihat dalam mentalitas sebagian besar birokrat yang tidak mencerminkan adanya budaya persamaan kedudukan diantara birokrasi dan masyarakat yang harus dilayani. Karena itu implikasi yang sering terjadi, tipe pelayanan yang terjadi sangat bercorak feodal, di mana budaya melayani sangat jauh dari yang diharapkan karena para birokrat masih melihat diri mereka sebagai bangsawan yang jauh dari masyarakat.
Selain itu, sering juga terjadi bahwa kultur-kultur negatif yang tercipta dalam sistem kerja birokrasi punya kaitan erat dengan dengan cara pandang masyarakat terhadap birokrasi dan bagaimana masyarakat memperlakukan birokrasi. Di mana dalam hal ini, masyarakat secara sadar maupun tidak sadar terlibat dalam menanam dan mempertahankan kultur korupsi pada diri birokrat (selain karena budaya korupsi dan kolusi yang telah tertanam sejak orde baru). Hal ini secara konkret dapat terjadi ketika masyarakat meminta dan menuntut sebuah pelayanan dari birokrasi. Tidak jarang yang terjadi bahwa masyarakat sering melihat bahwa pelayanan birokrasi tidak lebih dari sebuah produk yang dapat diperjualbelikan. Di mana untuk mendapatkan sebuah produk yang maksimal dan lancar, masyarakat harus mengeluarkan sejumlah uang dan menyogok sana sini agar tidak menghambat pekerjaan mereka.
Ironisnya hal ini justru membudaya dalam kinerja birokrasi. Karena dalam kenyataan, masyarakat kadang tidak merasa keberatan saat harus mengeluarkan biaya atau bayaran tambahan dalam menikmati pelayanan publik. Sebagian masyarakat bahkan melihat bahwa pungutan liar ini sebagai suatu hal yang biasa dan wajar. Maka bertolak dari hal ini, terdapat sebuah indikasi yang jelas bahwa praktik korupsi sudah menjadi budaya dalam birokrasi dan dapat diterima dalam kehidupan masyarakat.
Berangkat dari hal ini, dapat dikatakan bahwa secara mendasar cara pandang masyarakat terhadap birokrasi punya implikasi yang erat dalam membentuk kultur kinerja birokrasi. Ketika masyarakat tetap mempertahankan cara pandangnya dan tetap memperlakukan birokrasi sedemikian rupa maka sistem dan kinerja birokrasi tidak akan berubah. Saat masyarakat tetap melihat sogok menyogok, korupsi dan kolusi sebagai suatu hal yang lumrah dalam sebuah pelayanan maka sampai kapan pun mutu pelayanan birokrasi tidak akan berubah dan tidak akan pernah terlepas dari apa yang disebut sebagai budaya KKN.
Oleh karena itu, bertolak dari kedua hal sederhana di atas, dapat dijelaskan bahwa budaya, kultur, cara pandang masyarakat terhadap birokrasi serta prilaku masyarakat dalam memperlakukan birokrasi, mempunyai implikasi yang besar terhadap kinerja birokrasi. Dan perubahan dalam cara pandang masyarakat tentunya pula akan mengubah kinerja birokrasi secara langsung maupun tidak langsung. Pertanyaannya, sejauh manakah akses masyarakat untuk terlibat mengubah kinerja dan kultur negatif yang telah lama tertanam dalam birokrasi? adalah suatu pertanyaan real yang perlu dijawab.
Munculnya sistem new public service dalam pergulatan birokrasi Indonesia menuju pelayanan yang efektif dan efesien adalah salah satu sistem yang menawarkan ruang bagi keaktifan dan partisipasi masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi. Akan tetapi dalam konteks Indonesia, keterlibatan masyarakat seperti yang ditawarkan oleh new public service harus dilihat dalam konsep interaksi dan keterlibatan masyarakat dalam merubah kebudayaan dan pola pikir negatif yang telah membentuk kultur negatif dalam kinerja birokrasi. Masyarakat sebagai agen dan pelaku nilai-nilai kebudayaan dalam hal ini tentunya memiliki yang peran sangat signifikan untuk turut serta merubah kultur serta kinerja buruk birokrasi saat ini.
Salah satu hal yang paling sederhana yang dapat dimulai oleh masyarakat ialah dengan mengubah cara pandang (mindset) yang salah mereka terhadap birokrasi. Salah satu hal yang sering diabaikan oleh masyarakat ialah birokrasi jarang dilihat sebagai organisasi masyarakat yang bertugas untuk melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat, di mana pelayanan tersebut adalah hak yang harus mereka terima sebagai warga negara. Sebaliknya yang sering terjadi ialah masyarakat memandang pelayanan sebagai produk yang diperjualbelikan dan mengeluarkan biaya tambahan adalah suatu hal yang lumrah dalam memperoleh sebuah pelayanan yang berkualitas. Hal-hal sederhana inilah yang harus dirubah masyarakat. Walaupun sederhana, inilah wujut keterlibatan paling nyata yang dapat dilaksanakan dalam mereformasi kinerja birokrasi. Karena walaupun bertolak dari hal yang paling sederhana, secara esensial hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam memperbaiki kinerja birokrasi. Dalam pelayanan publik, masyarakat adalah subyek dan obyek dari pelayanan tersebut dan mengubah mindset masyarakat dalam menuntut memperbaiki kinerja pelayanan publik adalah salah satu hal paling utama.
4. Kesimpulan
Kinerja pelayanan publik menjadi salah satu dimensi strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi. Ketika publik atau masyarakat umum mendapatkan kepuasan dalam pelayanan yang diberikan maka pada posisi yang sama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dinilai sukses. Hal ini tentunya beralasan, karena secara mendasar para akademisi melihat bahwa ada hubungan yang simetris antara pemerintah birokrasi dan otonomi daerah. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah akan selalu diukur dari kualitas kinerja birokrasi di daerah-daerah dan kepuasan masyarakat terhadap kinerja tersebut.
Sepuluh tahun otonomi daerah berjalan, wajah pemerintahan di daerah-daerah belum banyak mengalami perubahan. Dengan bertolak dari hubungan simetris di atas, benang merah yang menyebabkan kagagalan otonomi daerah adalah ketidaksiapan pemerintah daerah menanggapi kebijakan ini dan kinerja birokrasi yang masih di dominasi oleh kultur orde baru.
Keadaan birokrasi yang sedemikian buruk ini memaksa pemerintah untuk berusaha menerapkan berbagai sistem yang dapat memacu kinerja dan merubah kultur-kultur negatif yang terdapat dalam birokrasi. Salah satu sistem yang dipakai hingga saat ini adalah new public management. Tetapi sejauh ini, pola ini belum mampu merubah kinerja birokrasi Indonesia. Salah satu alasannya adalah kurang dilibatkannya masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi. Dengan kondisi birokrasi Indonesia yang secara umum dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai budaya yang berada di sekitarnya, masyarakat sebagai agen dan pelaku budaya kurang diberi peran oleh new public management untuk mengubah kultur-kultur negatif dalam birokrasi.
Dengan kultur negatif yang sebagian besar dipengaruhi oleh kebudayaan setempat, new public service adalah salah satu tawaran terbaik untuk mereformasi kultur dan kinerja birokrasi saat ini. Dengan menekankan democracy governance, new public service membuka ruang bagi partisipasi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam merubah birokrasi. Dari hal yang paling sederhana hingga hal paling kompleks dimana dituntut hal-hal mendasar seperti akuntabilitas, new public service pada dasarnya telah membuka jalan bagi partisipasi masyarakat dalam berbagai hal termasuk dalam merubah kinerja birokrasi. Dengan latar belakang kebudayaan dan cara pandang yang menjadi dasar tercipta kultur negatif dalam birokrasi Indonesia, reformasi cara pandang masyarakat terhadap birokrasi yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan setempat harus diubah (dalam kaitan dengan merubah pola budaya feodalisme dan patrimonial dalam birokrasi).
Hal ini dapat dimulai dengan hal paling sederhana yakni dengan cara mengubah mindset masyarakat dalam melihat dan memperlakukan birokrasi. Karena itu berangkat dari hal ini, peran masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi adalah suatu hal paling penting dan paling utama. Birokrasi adalah sebuah organisasi yang selalu bersentuhan dengan manusia. Baik buruk kinerja akan selalu tergantung dari masyarakat yang menjadi subyek dan obyek dari sebuah pelayanan publik. Karena itu, masyarakat adalah tokoh sentral dan aktor utama yang harus dirubah ketika negara ingin mereformasi kinerja birokrasi yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Denhardt, Janet V. dan Robert B. Dendhart. 2003. New Public Service. New York & London: M. E. Sharpe.
Djadijono, M. (ed.). 2006. Membangun Indonesia Dari Daerah. Yogyakarta: Kanisius.
Dwiyanto, Agus. dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.
Dwiyanto, Agus. dkk. 2003. Reformasi Tata pemerintahan Dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.
Said, M. Mas’ud. 2007. Birokrasi Di Negara Birokratis. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Santoso, Priyo Budi. 1993. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
(Mahasiswa Pasca Sarjana UGM)
1. Latar Belakang Penulisan
Kebudayaan merupakan salah satu bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Hampir seluruh bagian kehidupan bangsa Indonesia lahir dan punya kaitan erat dengan kebudayaan yang ada. Dari pola pikir hingga prilaku yang menjadi kebiasaan bangsa ini, selalu berkaitan erat dan bertitik tolak dari latar belakang budaya yang dihidupi. Hal ini dapat dilihat dalam pola prilaku dan kinerja yang terjadi dalam birokrasi Indonesia. Dari masa orde baru bahkan hingga masa kini pola dan kinerja birokrasi pemerintahan Indonesia sangat didominasi oleh berbagai budaya Indonesia seperti feodalisme, patrimonialisme dan paternalistik.
Hal ini tentunya merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Birokrasi sebagai sebuah organisasi, tidak berada serta bekerja dalam ruang hampa. Birokrasi lahir dan bertumbuh dalam sebuah kehidupan manusia yang selalu memiliki kebudayaan yang memungkinkan terciptanya sebuah akulturasi dan asimilasi antara birokrasi dan kebudayaan masyarakat setempat. Sehingga dengan demikian kinerja dan karakteristik birokrasi di suatu daerah akan selalu punya kaitan erat dengan latar belakang budaya setempat dan masyarakat yang menghidupi kebudayaan tersebut.
Ketika digulirkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, berbagai kompleksitas persoalan muncul. Salah satu adalah tidak berjalannya kebijakan efektifitas dan efesiensi dalam proses pemberian pelayanan terhadap publik. Berbagai kultur patrimonial, feodalisme dan paternalistik yang bertumbuh dan mengakar dalam birokrasi orde baru, menjadikan birokrasi belum mampu menanggapi dan melaksanakan berbagai idealisme yang diusung oleh desentralisasi. Maka dari itu, saat ini telah muncul begitu banyak sistem yang dicoba untuk memperbaiki kinerja birokrasi saat ini.
Pertanyaannya, dimanakah peran masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi saat ini? Masyarakat sebagai agen dan pelaku kebudayaan tentunya memiliki peran yang besar dalam memperbaiki kinerja birokrasi saat ini. Berbagai kinerja buruk yang dibangun birokrasi saat ini tidak terlepas dari kebudayaan dan cara pandang masyarakat terhadap birokrasi. Maka dari itu, masyarakat sebagai pencipta dan pelaku kebudayaan tentunya dapat memainkan peran yang penting dalam memperbaiki prilaku dan kinerja para birokrat. Berbagai sistem yang ditawarkan tentunya akan menjadi obat yang manjur, ketika masyarakat sebagai bagian paling sentral dalam pelayanan publik turut terlibat dalam membenahi kinerja birokrasi.
2. Rumusan Masalah
Reformasi birokrasi adalah salah satu wacana terhangat saat ini, hampir selalu didiskusikan dan dibahas baik oleh para akademisi, praktisi maupun aktivis sosial. Setelah jatuhnya orde baru dan bergulirnya kebijakan, restruktirisasi birokrasi menjadi suatu tema yang menarik. Akan tetapi, dari berbagai pembahasan itu, penekanan pada peran masyarakat dalam mereformasi hampir jarang didengar. Maka dari itu dalam tulisan ini, penulis ingin mengangkat peran masyarakat dalam memperbaiki kinerja dan mengubah kultur birokrasi yang ada saai ini. Permasalahan ini dapat sebagai berikut: Bagaimana peran masyarakat dalam mereformasi kinerja dan kultur birokrasi menjadi sebuah birokrasi yang melaksanakan pelayanan secara efektif, efesien dan berorientasi pada pelayanan publik?
3. New public service dan peran masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi
New public service merupakan pola terbaru era ini dalam mereformasi kinerja birokrasi. New public service adalah salah satu sistem yang berusaha memperbaiki kinerja birokrasi dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam memperbaiki kinerja birokrasi. Dalam sistem new public service, ditawarkan sebuah perubahan yang sangat signifikan dalam proses memformulasikan dan mengimplemantasikan kebijakan pemerintah berkaitan dengan pelayanan terhadap publik. Jika dalam sistem-sistem lain proses perumusan kebijakan hanya melibatkan pemerintah dan swasta maka dalam new public service sebaliknya. Dalam new public service dominasi pemerintah yang sangat besar dalam penentuan sebuah kebijakan dilepaskan dan pemerintah mulai terbuka terhadap partisipasi banyak individu, kelompok dan berbagai institusi yang berada di luar pemerintah.
Kerangka new public service sendiri terdiri dari tiga komponen utama (good governance) yakni negara (pemerintah), market (pasar) dan masyarakat yang sering disebut sebagai citizen. Dalam kerangka ini, ketiga komponen ini memainkan peran yang sama penting dalam menentukan berbagai kebijakan. Suatu hal yang baru dalam hal ini adalah keterlibatan masyarakat sebagai citizen, di mana masyarakat memainkan peran yang penting sebagai pemberi mandat kepada pemerintah untuk melaksanakan berbagai kebijakan publik (dengan diimbangi kewajiban untuk membayar pajak). Dengan sebuah sistem demoratic governance, new public service memantapkan dirinya untuk mereformasi birokrasi dengan membuka ruang yang sebesar-besarnya terhadap partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam berbagai kebijakan publik.
Proses kebijakan yang terbuka dan partisipatif sendiri adalah salah satu ciri penting dari tata pemerintahan (birokrasi) yang baik. Dengan kebijakan yang membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat, setiap stakeholder akan dengan mudah memahami alasan sebuah tindakan perlu dilakukan oleh pemerintah. Mereka juga dapat dengan mudah mengetahui keinginan yang sebenarnya dari pemerintah ketika pemerintah melaksanakan kebijakan tertentu. Sehingga dengan demikian stakeholders dapat dengan mudah untuk mengambil sikap untuk mendukung atau menolak kebijakan-kebijakan yang diambil dan dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu proses kebijakan ini kemudian harus didukung oleh berbagai hal berupa akuntabilitas, transparansi, keadilan, responsifitas, kesamaan dan kepastian hukum. Karena kinerja birokrasi akan menjadi baik ketika para aktor-aktor yang terlibat dalam pengambilan dan pelaksanaan menggunakan kekuasaan yang berdasarkan prinsip-prinsip tadi.
Dalam konteks Indonesia, keterlibatan masyarakat untuk memperbaiki kinerja dan kultur birokrasi Indonesia seperti yang ditawarkan oleh new public service tentunya harus dilihat dalam kerangka permasalahan utama yang menyebabkan rendahnya mutu kinerja birokrasi. Dalam hal ini keterlibatan masyarakat tidak hanya dilihat sebagai bagian dari keterlibatan dalam menentukan berbagai kebijakan. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa salah satu hal mendasar yang menyebabkan rendahnya kinerja birokrasi adalah budaya yang berada di sekitarnya. Birokrasi lahir dan berkembang dalam sejarah manusia, karena itu birokrasi senantiasa dibentuk, dijalankan dan diarahkan oleh manusia. Bahkan walaupun hadir sebagai institusi yang objektif namun secara mendasar pelaksanaan birokrasi tetap bersumber pada aktivitas manusiawi dan tidak dapat terlepas dari tingkah polah manusia. Karena itu dalam wacana memperbaiki kinerja birokrasi yang melibatkan masyarakat, kebudayaan yang membentuk kultur birokrasi harus menjadi fokus dan titik tolak utama bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif. Masyarakat sebagai agen kebudayaan tentunya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan dalam kultur yang tercipta dalam kehidupan birokrasi. Yang kemudian akan berkorelasi secara langsung maupun tidak langsung dalam membentuk kultur-kultur positif dalam diri birokrasi.
Salah satu hal paling konkret berkaitan dengan hal ini dapat dilihat dalam kultur kebudayaan jawa yang membentuk sebuah kultur feodalisme dalam birokrasi di jawa dan Indonesia pada umumnya. Di daerah jawa, terbentuk dari kelompok elite birokrasi berawal dari dipilihnya para raja dan bangsawan untuk membantu Belanda mengatur kehidupan masyarakat. Dengan kekuasaan yang dimiliki para raja serta bangsawan, Belanda percaya bahwa masyarakat akan patuh terhadap apa yang diperintahkan dan segala hal yang telah diatur oleh Belanda.
Akar pembentukkan birokrasi ini kemudian membawa konsekuensi hubungan politik, sosial dan kultural di antara birokrat dan masyarakat. Persepsi-persepsi budaya yang telah tercipta dalam masyarakat jawa, menjadikan masyarakat jawa sangat menghormati para birokrat dan tidak berani melawan serta menuntut pelayanan yang layak dari para birokrat. Lalu di lain sisi, persepsi sosial tersebut menjadikan para birokrat memposisikan diri lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan. Hal ini dapat dilihat dalam mentalitas sebagian besar birokrat yang tidak mencerminkan adanya budaya persamaan kedudukan diantara birokrasi dan masyarakat yang harus dilayani. Karena itu implikasi yang sering terjadi, tipe pelayanan yang terjadi sangat bercorak feodal, di mana budaya melayani sangat jauh dari yang diharapkan karena para birokrat masih melihat diri mereka sebagai bangsawan yang jauh dari masyarakat.
Selain itu, sering juga terjadi bahwa kultur-kultur negatif yang tercipta dalam sistem kerja birokrasi punya kaitan erat dengan dengan cara pandang masyarakat terhadap birokrasi dan bagaimana masyarakat memperlakukan birokrasi. Di mana dalam hal ini, masyarakat secara sadar maupun tidak sadar terlibat dalam menanam dan mempertahankan kultur korupsi pada diri birokrat (selain karena budaya korupsi dan kolusi yang telah tertanam sejak orde baru). Hal ini secara konkret dapat terjadi ketika masyarakat meminta dan menuntut sebuah pelayanan dari birokrasi. Tidak jarang yang terjadi bahwa masyarakat sering melihat bahwa pelayanan birokrasi tidak lebih dari sebuah produk yang dapat diperjualbelikan. Di mana untuk mendapatkan sebuah produk yang maksimal dan lancar, masyarakat harus mengeluarkan sejumlah uang dan menyogok sana sini agar tidak menghambat pekerjaan mereka.
Ironisnya hal ini justru membudaya dalam kinerja birokrasi. Karena dalam kenyataan, masyarakat kadang tidak merasa keberatan saat harus mengeluarkan biaya atau bayaran tambahan dalam menikmati pelayanan publik. Sebagian masyarakat bahkan melihat bahwa pungutan liar ini sebagai suatu hal yang biasa dan wajar. Maka bertolak dari hal ini, terdapat sebuah indikasi yang jelas bahwa praktik korupsi sudah menjadi budaya dalam birokrasi dan dapat diterima dalam kehidupan masyarakat.
Berangkat dari hal ini, dapat dikatakan bahwa secara mendasar cara pandang masyarakat terhadap birokrasi punya implikasi yang erat dalam membentuk kultur kinerja birokrasi. Ketika masyarakat tetap mempertahankan cara pandangnya dan tetap memperlakukan birokrasi sedemikian rupa maka sistem dan kinerja birokrasi tidak akan berubah. Saat masyarakat tetap melihat sogok menyogok, korupsi dan kolusi sebagai suatu hal yang lumrah dalam sebuah pelayanan maka sampai kapan pun mutu pelayanan birokrasi tidak akan berubah dan tidak akan pernah terlepas dari apa yang disebut sebagai budaya KKN.
Oleh karena itu, bertolak dari kedua hal sederhana di atas, dapat dijelaskan bahwa budaya, kultur, cara pandang masyarakat terhadap birokrasi serta prilaku masyarakat dalam memperlakukan birokrasi, mempunyai implikasi yang besar terhadap kinerja birokrasi. Dan perubahan dalam cara pandang masyarakat tentunya pula akan mengubah kinerja birokrasi secara langsung maupun tidak langsung. Pertanyaannya, sejauh manakah akses masyarakat untuk terlibat mengubah kinerja dan kultur negatif yang telah lama tertanam dalam birokrasi? adalah suatu pertanyaan real yang perlu dijawab.
Munculnya sistem new public service dalam pergulatan birokrasi Indonesia menuju pelayanan yang efektif dan efesien adalah salah satu sistem yang menawarkan ruang bagi keaktifan dan partisipasi masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi. Akan tetapi dalam konteks Indonesia, keterlibatan masyarakat seperti yang ditawarkan oleh new public service harus dilihat dalam konsep interaksi dan keterlibatan masyarakat dalam merubah kebudayaan dan pola pikir negatif yang telah membentuk kultur negatif dalam kinerja birokrasi. Masyarakat sebagai agen dan pelaku nilai-nilai kebudayaan dalam hal ini tentunya memiliki yang peran sangat signifikan untuk turut serta merubah kultur serta kinerja buruk birokrasi saat ini.
Salah satu hal yang paling sederhana yang dapat dimulai oleh masyarakat ialah dengan mengubah cara pandang (mindset) yang salah mereka terhadap birokrasi. Salah satu hal yang sering diabaikan oleh masyarakat ialah birokrasi jarang dilihat sebagai organisasi masyarakat yang bertugas untuk melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat, di mana pelayanan tersebut adalah hak yang harus mereka terima sebagai warga negara. Sebaliknya yang sering terjadi ialah masyarakat memandang pelayanan sebagai produk yang diperjualbelikan dan mengeluarkan biaya tambahan adalah suatu hal yang lumrah dalam memperoleh sebuah pelayanan yang berkualitas. Hal-hal sederhana inilah yang harus dirubah masyarakat. Walaupun sederhana, inilah wujut keterlibatan paling nyata yang dapat dilaksanakan dalam mereformasi kinerja birokrasi. Karena walaupun bertolak dari hal yang paling sederhana, secara esensial hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam memperbaiki kinerja birokrasi. Dalam pelayanan publik, masyarakat adalah subyek dan obyek dari pelayanan tersebut dan mengubah mindset masyarakat dalam menuntut memperbaiki kinerja pelayanan publik adalah salah satu hal paling utama.
4. Kesimpulan
Kinerja pelayanan publik menjadi salah satu dimensi strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi. Ketika publik atau masyarakat umum mendapatkan kepuasan dalam pelayanan yang diberikan maka pada posisi yang sama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dinilai sukses. Hal ini tentunya beralasan, karena secara mendasar para akademisi melihat bahwa ada hubungan yang simetris antara pemerintah birokrasi dan otonomi daerah. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah akan selalu diukur dari kualitas kinerja birokrasi di daerah-daerah dan kepuasan masyarakat terhadap kinerja tersebut.
Sepuluh tahun otonomi daerah berjalan, wajah pemerintahan di daerah-daerah belum banyak mengalami perubahan. Dengan bertolak dari hubungan simetris di atas, benang merah yang menyebabkan kagagalan otonomi daerah adalah ketidaksiapan pemerintah daerah menanggapi kebijakan ini dan kinerja birokrasi yang masih di dominasi oleh kultur orde baru.
Keadaan birokrasi yang sedemikian buruk ini memaksa pemerintah untuk berusaha menerapkan berbagai sistem yang dapat memacu kinerja dan merubah kultur-kultur negatif yang terdapat dalam birokrasi. Salah satu sistem yang dipakai hingga saat ini adalah new public management. Tetapi sejauh ini, pola ini belum mampu merubah kinerja birokrasi Indonesia. Salah satu alasannya adalah kurang dilibatkannya masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi. Dengan kondisi birokrasi Indonesia yang secara umum dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai budaya yang berada di sekitarnya, masyarakat sebagai agen dan pelaku budaya kurang diberi peran oleh new public management untuk mengubah kultur-kultur negatif dalam birokrasi.
Dengan kultur negatif yang sebagian besar dipengaruhi oleh kebudayaan setempat, new public service adalah salah satu tawaran terbaik untuk mereformasi kultur dan kinerja birokrasi saat ini. Dengan menekankan democracy governance, new public service membuka ruang bagi partisipasi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam merubah birokrasi. Dari hal yang paling sederhana hingga hal paling kompleks dimana dituntut hal-hal mendasar seperti akuntabilitas, new public service pada dasarnya telah membuka jalan bagi partisipasi masyarakat dalam berbagai hal termasuk dalam merubah kinerja birokrasi. Dengan latar belakang kebudayaan dan cara pandang yang menjadi dasar tercipta kultur negatif dalam birokrasi Indonesia, reformasi cara pandang masyarakat terhadap birokrasi yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan setempat harus diubah (dalam kaitan dengan merubah pola budaya feodalisme dan patrimonial dalam birokrasi).
Hal ini dapat dimulai dengan hal paling sederhana yakni dengan cara mengubah mindset masyarakat dalam melihat dan memperlakukan birokrasi. Karena itu berangkat dari hal ini, peran masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi adalah suatu hal paling penting dan paling utama. Birokrasi adalah sebuah organisasi yang selalu bersentuhan dengan manusia. Baik buruk kinerja akan selalu tergantung dari masyarakat yang menjadi subyek dan obyek dari sebuah pelayanan publik. Karena itu, masyarakat adalah tokoh sentral dan aktor utama yang harus dirubah ketika negara ingin mereformasi kinerja birokrasi yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Denhardt, Janet V. dan Robert B. Dendhart. 2003. New Public Service. New York & London: M. E. Sharpe.
Djadijono, M. (ed.). 2006. Membangun Indonesia Dari Daerah. Yogyakarta: Kanisius.
Dwiyanto, Agus. dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.
Dwiyanto, Agus. dkk. 2003. Reformasi Tata pemerintahan Dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.
Said, M. Mas’ud. 2007. Birokrasi Di Negara Birokratis. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Santoso, Priyo Budi. 1993. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Kamis, 20 November 2008
PARTISIPASI PEMUDA DALAM MENGISI PEMBANGUNAN NASIONAL
Oleh : AKHYAR ANSHORI S.Sos (KOordinator Umum FP3SU)
Dalam rancangan Undang Undang tentang kepemudaan, defisi pemuda menunjuk kepada orang yang berusia 18 sd. 35 tahun. Tentu penetapan margin usia ini lebih dahulu telah melampaui kajian akademis untuk mendapatkan rumusan yang tepat bagi kondisi demografi kepemudaan di tanah air.
Berdasarkan data Susenas 2006, jumlah pemuda Indonesia tahun 2006 mencapai 80,8 juta jiwa atau 36,4 persen dari total penduduk yang terdiri dari 40,1 juta pemuda laki-laki dan 40,7 juta pemuda perempuan. Jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, tampak bahwa pemuda yang tinggal di pedesaan jumlahnya lebih banyak daripada pemuda yang tinggal di perkotaan (43,4 juta berbanding 37,4 juta).
Dengan jumlah yang amat besar, maka peran strategis pemuda dalam pembangunan nasional sangatlah penting artinya dan telah dibuktikan didalam berbagai peran pemuda seiring dengan perjalanan dan denyut jantung kehidupan suatu bangsa. Oleh sebab itulah diskusi mengenai peran pemuda dalam berbagai sisi kehidupannya tidak akan pernah habis dan tidak pernah mati termasuk yang sedang kita bicarakan didalam seminar kali ini.
Menangani pemuda ibarat memegang sabun, tidak boleh terlalu kuat karena bisa mencolot keluar dan tidak boleh terlalu lembek karena bisa tergelincir jatuh. Menangani pemuda ibarat memelihara singa, bila kita pandai membujuk, ia akan tunduk dan patuh kepada kita, namun bila sebaliknya, maka ia akan menyerang kita sendiri.
Peranan pemuda dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia memang bersifat dominan dan monumental. Di era pra-kemerdekaan maupun di era kemerdekaan, pemuda selalu tampil dengan jiwa kepeloporan, kejuangan, dan patriotismenya dalam mengusung perubahan dan pembaharuan. Karya-karya monumental pemuda itu dapat ditelusuri melalui peristiwa bersejarah antara lain; Boedi Oetomo (20 Mei 1908) yang kemudian diperingati sebagai Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda(28 Oktober 1928), Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945), transisi politik 1966, dan Gerakan Reformasi 1998.
Peristiwa lahirnya Boedi Oetomo 1908 menjadi bukti bahwa pemuda Indonesia memiliki inisiatif untuk mengubah peradaban bangsanya. Ketika itu, menyaksikan metoda perjuangan kemerdekaan yang masih mengandalkan sentimen kedaerahan (etnosentrisme), pemuda berinisiatif untuk mengubah strategi perjuangan kemerdekaan dalam konteks peradaban yang lebih maju, yakni dengan memasuki fase perjuangan berbasis kesadaran kebangsaan (nasionalisme), untuk menggantikan semangat kedaerahan yang bersifat sporadis dan berdimensi sempit.
Pada peristiwa Sumpah Pemuda 1928, pemuda kembali menunjukkan perannya sebagai pengubah peradaban bangsa. Sumpah Pemuda merupakan fase terpenting yang dicetuskan pemuda dalam prosesi kelahiran nation-state Indonesia. Secara prinsip, Sumpah Pemuda merupakan kesepakatan sosial (social agreement) dari segenap komponen rakyat demi melahirkan entitas “Indonesia”. Halmana disusul oleh kesepakatan politik Para Pendiri Bangsa berupa Proklamasi Kemerdekaan 1945 yang melahirkan negara Indonesia merdeka yang berbasiskan pada platform dasar: NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Di setiap babak sejarah bangsa ini, pemuda selalu berusaha mempertahankan idealisme kejuangan dan militansi gerakannya. Seusai kemerdekaan, pemuda secara konsisten tetap berikhtiar dan berperan dalam menentukan hitam-putihnya masa depan negeri ini. Di era pembangunan yang ditandai oleh beberapa kali pergantian rezim kekuasaan, pemuda menunjukkan bargaining position yang kuat, termasuk ketika Indonesia memasuki era transisi demokrasi bernama gerakan reformasi. Sejarah pergerakan nasional telah membuktikan bahwa pemuda memiliki posisi dan peran strategis dalam mengubah peradaban bangsanya.
Ketika menerima mandat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004 yang lalu, Menpora Adhyaksa Dault langsung menempuh langkah-langkah mendasar untuk mengakselerasi pembangunan kepemudaan dan keolahragaan di Indonesia. Menpora memandang bahwa pemuda dan olahraga merupakan dua pilar bangsa yang amat penting untuk menguatkan pembentukan karakter bangsa (nation and character building). Inilah sesungguhnya pandangan dasar atau basis kebijakan Menpora yang selanjutnya harus diderivasikan dan dikonkritkan melalui program kerja dan kegiatan Kemenegpora.
Basis kebijakan pemerintah berasas pada Tiga Agenda Pokok Pemerintahan SBY-JK yakni menciptakan Indonesia yang aman dan damai; menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis; dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Berpedomankan tiga agenda pokok tersebut, program pembangunan kepemudaan dan keolahragaan dirumuskan, dijalankan, dan dievaluasi demi menopang pembangunan nasional yang bermuara pada tercapainya kesejahteraan rakyat.
Dalam kapasitas sebagai regulator, Pemerintah melalui Kemennegpora telah menempuh sejumlah kebijakan mendasar guna mengakselerasi pembangunan kepemudaan dan keolahragaan. Bersama dengan DPR, Kemennegpora telah melahirkan UU Sistem Keolahragaan Nasional (UU/3/2005). Saat ini, Kemennegpora sedang berkonsentrasi mempersiapkan lahirnya undang-undang kepemudaan. Dalam hubungan ini, telah dirampungkan Naskah Akademis sekaligus materi RUU Kepemudaan, dan telah pula disosialisasikan ke segenap stakeholders. Selain itu, materi RUU Kepemudaan telah diharmonisasikan dengan berbagai instansi terkait dan segenap stakeholders kepemudaan.
Pergeseran paradigma pemuda sebagai social category dilakukan mengingat potensi kualitatif dan kuantitatif dari pemuda yang bersifat strategis. Kiranya dimaknai bahwa positioning pemuda dalam konfigurasi kehidupan bangsa bersentuhan langsung dengan masa depan bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, dari perspektif pemuda sebagai social category, pemuda mesti terus mengalami pemberdayaan (empowering), baik dengan ditopang oleh regulasi pemerintah, maupun oleh kemampuan pemuda untuk mandiri.
Adapun paradigma pemuda sebagai social category dapat dimaknai dari tiga perspektif, yakni: Pertama, perspektif filosofis; bahwa pemuda sebagaimana kodrat manusia adalah makhluk sosial (homo socius) yang memiliki peran eksistensial dengan beragam dimensi antara lain dimensi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Artinya, secara kodrati pemuda mesti menjalankan peran eksistensialnya sebagai makhluk sosial.
Kedua, perspektif historis; pasca gerakan reformasi 1998, terjadi pergeseran paradigma di semua lini publik. Di masa lalu, pemuda cenderung diposisikan sebagai komoditas politik sehingga mengakibatkan bargaining position pemuda menjadi amat lemah. Halmana mengakibatkan kurang terapresiasinya pemuda yang berada di luar area kelompok elite. Pergeseran paradigma pemuda sebagai social category dimaksudkan untuk memposisikan pemuda sebagai aset strategis bangsa.
Ketiga, perspektif kompetensi; bahwa pemuda merupakan segmen warga negara yang memiliki aneka kompetensi yang dapat memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan negara. Paradigma pemuda sebagai social category sesungguhnya hendak menegaskan bahwa apresiasi terhadap \pemuda melingkupi seluruh lapis profesi pemuda termasuk yang memilih politik sebagai domain praksis profesionalnya. Artinya, para pemuda yang memipemuda itu tapi justru hendak menegaskan bahwa hak-hak politik merupakan bagian yang tidak terpisahkan (inherent) dari eksistensi pemuda sebagai social category.
Mengingat peran strategis pemuda, serta selaras dengan basis kebijakan Menpora, maka sudah saatnya diperlukan keberadaan payung hukum yang bersifat permanen dalam konteks pembangunan kepemudaan. Dengan begitu, pemuda memperoleh jaminan dari negara atas hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Dalam hubungan ini, Kemenegpora saat ini sedang mempersiapkan kelahiran undang-undang kepemudaan yang kini sudah dalam wujud RUU Kepemudaan, dan telah disosialisasikan kepada segenap pemangku kepentingan (stakeholders).
1. Masalah Kepemudaan.
Sebelum mengelaborasi mengenai partisipasi pemuda dalam pembangunan nasional, sejenak kita simak permasalahan yang melingkupi pemuda antara lain:
a. Misorientasi pemuda dalam menatap masa depan yang cenderung melihat politik sebagai panglima; akibatnya pemuda berlomba-lomba merebut kekuasaan dibidang politik, bukan dibidang ekonomi;
b. Rendahnya akses dan kesempatan pemuda untuk memperoleh pendidikan;
c. Rendahnya minat membaca di kalangan pemuda yaitu sekitar 37,5 persen;
d. Rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pemuda yaitu sekitar 65,9 persen;
e. Belum serasinya kebijakan kepemudaan di tingkat nasional dan daerah;
f. Tingginya tingkat pengangguran terbuka pemuda yang mencapai sekitar 19,5 persen;
g. Maraknya masalah-masalah sosial di kalangan pemuda, seperti kriminalitas, premanisme, narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA), dan HIV.
h. Ancaman harga diri bagi pemuda akibat adanya terorisme;
i. Penyaluran aspirasi yang cenderung destruktif.
2. Diagnosa Mempercepat Partisipasi Pemuda Dalam Pembangunan Nasional
Dengan memahami permasalahan pemuda, maka diagnosa atas permasalahan itu akan dilakukan secara lebih tepat, yang pada gilirannya akan memacu partisipasi pemuda dalam pembangunan nasional. Sehubungan dengan ini, Pemerintah, dalam hal ini Kemennegpora meletakkan prioritas pembangunan kepemudaan pada aspek:
a. Nation and Character Building (pembangunan watak manusia Indonesia)
b. Peningkatan kapasitas dan daya saing pemuda
Guna mendorong partisipasi pemuda dalam pembangunan nasional, maka pemerintah meletakkan paradigma pembangunan kepemudaan sebagai berikut:
a. Mengutamakan Pemuda Sebagai Kategori Sosial (Social Category) dari pada Kategori Politik (Political Category)
b. Menghindarkan tiga langkah traumatis dalam pembangunan kepemudaan yakni:
1) Pembinaan
2) Pengawasan
3) Pengaturan
c. Melakukan reformasi pembangunan kepemudaan dengan melaksanakan tiga langkah pembangunan kepemudaan, yakni:
1) Pemberdayaan
Upaya yang dilakukan secara sistematis guna membangkitkan potensi pemuda agar berkemampuan untuk berperan serta dalam pembangunan. Memposisikan pemuda sebagai potensi dan kader yang harus dikembangkan. (Memperjelas mana terigu, mana roti).
2) Pengembangan
Pengembangan pemuda yaitu upaya sistematis yang dilakukan untuk menumbuhkembangkan potensi kepemimpinan, kewirausahaan dan kepeloporan pemuda.
3) Perlindungan
Upaya sistematis yang dilakukan dalam rangka menjaga dan menolong pemuda terutama dalam menghadapi hal-hal sebagai berikut :
a) Demoralisasi
b) Degradasi Nasionalisme
c) Penetrasi paham non Pancasilais
d) Pengaruh Destruktif seperti Narkoba dan HIV/AIDS,
e) Perlindungan terhadap proses regenerasi, serta
f) Perlindungan terhadap hak dan kewajiban pemuda.
3. Sepuluh Kegiatan Prioritas Pembangunan Kepemudaan
Guna memotivasi pemuda untuk membangkitkan peranannya dalam pembangunan nasional, maka pemerintah menetapkan 10 kegiatan prioritas khusus dalam bidang pemberdayaan pemuda.
a. Menyelesaikan dan mensosialisasi UU tentang kepemudaan
b. Meningkatkan keserasian kebijakan pemuda;
c. Menyelenggarakan pertukaran pemuda antar negara;
d. Menyelenggarakan Pendidikan Bela Negara dan Jambore Pemuda Indonesia;
e. Mengembangkan wawasan dan kreativitas pemuda;
f. Mengembangkan Sentra Pemberdayaan Pemuda;
g. Meningkatkan Kapasitas IPTEK dan IMTAK Pemuda;
h. Memperluaskan Pilot Project Pengembangan Rumah Olah Mental Pemuda Indonesia (ROMPI);
i. Meningkatkan Pengelolaan Lembaga Kepemudaan;
j. Mengembangkan Sistim Informasi Lembaga Kepemudaan
4. Peran Strategis Yang Harus Di Lakukan Oleh Pemuda Dalam Pembangunan Nasional.
Peran strategis sebagai upaya yang harus dilakukan oleh para pemuda dalam mengakselerasi pembangunan nasional adalah mendorong terciptanya :
• Iklim Kondusif
• Harmonisasi
• Good Governance
a. Iklim Kondusif
Iklim kondusif sangat diperlukan dalam mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan sangat ditentukan oleh seberapa besar kehidupan perekonomian itu bisa berjalan. Sementara nafas dari kegiatan perekonomian ialah berlangsungnya investasi dalam segala bentuk manivestasinya. Dengan berjalannya dunia investasi maka berdampak kepada semakin terbukanya lapangan pekerjaan. Dengan terbukanya lapangan perkerjaan tentu saja upaya mempertahankan hidup akan dilakukan dengan cara yang benar, sehingga para pemuda dapat terhindar dari perbuatan yang tidak benar seperti : mencuri; merampok (skala besar maupun kecil); mencopet; memeras; pungli; mengoplos minyak; menyelundup; dagang narkoba; dagang ABG; berjudi; korupsi/menyalahgunakan jabatan; dan lain sejenisnya. Sebaliknya bila iklim tidak kondusif, maka dunia investasi tidak akan dapat berjalan dengan baik, sehingga lapangan pekerjaan tertutup dan orang dalam mempertahankan hidupnya akan menggunakan cara-cara yang tidak benar.
b. Harmonisasi.
Sumber-sumber konflik yang sering terjadi didalam masyarakat majemuk biasanya berasal dari persentuhan antara orang yang memiliki kesamaan ciri dengan kelompok lain yang berbeda latar belakangnya seperti; agama, etnis, pandangan politik, kelompok kepentingan atau organisasi serta perbedaan lainnya.
Indonesia adalah suatu bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk. Oleh sebab itu upaya untuk memelihara harmonisasi sangat penting artinya agar masyarakat dalam berbagai posisi dan lapisannya dapat hidup berdampingan secara damai. Tentu saja keadaan ini juga berkaitan erat dengan iklim kondusif itu. Oleh karenanya forum-forum yang dapat mengakomodir kemajukan seperti Forum Komunikasi Antar Pemuda Agama, Forum komunikasi Lintas Adat, Forum Komunikasi Lintas Pemuda, sangat penting artinya sebagai kawasan penyangga bila terjadi ancaman terhadap terusiknya suasana harmonis itu. Disinilah para pemuda dapat memainkan perannya sebagai garda terdepan untuk bisa menjaga suasana harmonis itu terutama dilingkungan pergaulannya sendiri (peer group nya). Konflik-konflik yang mungkin muncul karena disebabkan adanya persoalan dikalangan pemuda, segera dapat diatasi dengan mengefektifkan peran komunikasi lintas pemuda, sehingga masalah yang kecil tidak sampai melebar dan menyebakan terjadi konflik horizontal antar sesama pemuda.
c. Good Governance.
Sepuluh prinsip Tata Pemerintahan yang baik yang selama ini telah menjadi pedoman bagi penyelenggaraan tata pemerintahan di Indonesia ialah : (1) Partisipasi, (2) Penegakan Hukum, (3) Transparansi, (4) Kesetaraan, (5) Daya Tanggap, (6) Wawasan ke Depan, (7) Akuntabilitas, (8) Pengawasan, (9) Efisiensi & Efektifitas, dan (10) Profesionalisme. Sepuluh prinsip ini sejalan dengan perkembangan penyelenggaran sistem pemerintahan di Indonesia yang merubah asas sentralisasi menjadi desentralisasi yang dikenal dengan otonomi daerah.
Salah satu tujuan pemberian otonomi adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat. Untuk itu pemerintah daerah dituntut memahami secara lebih baik kebutuhan masyarakat yang terdiri dari berbagai lapisan. Pemerintah daerah harus melibatkan seluruh unsur masyarakat dalam proses pembangunan. Tata-pemerintahan di daerah harus diselenggarakan secara partisipatif. Penyelenggaraan pemerintahan yang eksklusif hanya melibatkan unsur pemerintah dan/atau legislatif akan membuat masyarakat tidak peduli pada pembangunan. Hal ini lebih lanjut akan menyebabkan keberlanjutan pembangunan menjadi sangat rapuh dan rentan.
Partisipasi masyarakat dapat terwujud seiring dengan tumbuhnya rasa percaya masyarakat kepada para penyelenggara pemerintahan di daerah. Rasa percaya ini akan tumbuh apabila masyarakat memperoleh pelayanan dan kesempatan yang setara (equal). Tidak boleh ada perlakuan yang didasari atas dasar perbedaan pria-wanita, kaya-miskin, kesukuan dan agama. Pembedaan perlakuan atas dasar apapun dapat menumbuhkan kecemburuan dan mendorong terjadinya konflik sosial di masyarakat.
Guna terlaksananya prinsip-prinsip Good Governance dalam penyelenggaraan pemerintahan, para pemuda dapat memainkan perannya baik secara partisipatif yang terlibat langsung didalam penyelenggaraan pemerintahan maupun dengan menggiatkan upaya-upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan posisi dan peran historisnya, pemuda memiliki potensi strategis untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Melalui persebaran potensi dan kualitas pemuda yang merata di berbagai lini pengabdian sosial, para pemuda diharapkan mampu memosisikan dirinya sebagai kader-kader bangsa yang tangguh dalam meneruskan perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan. Kita berharap, pemuda mampu membentuk dirinya sebagai pemimpin bangsa di masa depan, dan mampu menggapai masa depan Indonesia yang lebih bermartabat, di bawah payung NKRI yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam rancangan Undang Undang tentang kepemudaan, defisi pemuda menunjuk kepada orang yang berusia 18 sd. 35 tahun. Tentu penetapan margin usia ini lebih dahulu telah melampaui kajian akademis untuk mendapatkan rumusan yang tepat bagi kondisi demografi kepemudaan di tanah air.
Berdasarkan data Susenas 2006, jumlah pemuda Indonesia tahun 2006 mencapai 80,8 juta jiwa atau 36,4 persen dari total penduduk yang terdiri dari 40,1 juta pemuda laki-laki dan 40,7 juta pemuda perempuan. Jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, tampak bahwa pemuda yang tinggal di pedesaan jumlahnya lebih banyak daripada pemuda yang tinggal di perkotaan (43,4 juta berbanding 37,4 juta).
Dengan jumlah yang amat besar, maka peran strategis pemuda dalam pembangunan nasional sangatlah penting artinya dan telah dibuktikan didalam berbagai peran pemuda seiring dengan perjalanan dan denyut jantung kehidupan suatu bangsa. Oleh sebab itulah diskusi mengenai peran pemuda dalam berbagai sisi kehidupannya tidak akan pernah habis dan tidak pernah mati termasuk yang sedang kita bicarakan didalam seminar kali ini.
Menangani pemuda ibarat memegang sabun, tidak boleh terlalu kuat karena bisa mencolot keluar dan tidak boleh terlalu lembek karena bisa tergelincir jatuh. Menangani pemuda ibarat memelihara singa, bila kita pandai membujuk, ia akan tunduk dan patuh kepada kita, namun bila sebaliknya, maka ia akan menyerang kita sendiri.
Peranan pemuda dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia memang bersifat dominan dan monumental. Di era pra-kemerdekaan maupun di era kemerdekaan, pemuda selalu tampil dengan jiwa kepeloporan, kejuangan, dan patriotismenya dalam mengusung perubahan dan pembaharuan. Karya-karya monumental pemuda itu dapat ditelusuri melalui peristiwa bersejarah antara lain; Boedi Oetomo (20 Mei 1908) yang kemudian diperingati sebagai Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda(28 Oktober 1928), Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945), transisi politik 1966, dan Gerakan Reformasi 1998.
Peristiwa lahirnya Boedi Oetomo 1908 menjadi bukti bahwa pemuda Indonesia memiliki inisiatif untuk mengubah peradaban bangsanya. Ketika itu, menyaksikan metoda perjuangan kemerdekaan yang masih mengandalkan sentimen kedaerahan (etnosentrisme), pemuda berinisiatif untuk mengubah strategi perjuangan kemerdekaan dalam konteks peradaban yang lebih maju, yakni dengan memasuki fase perjuangan berbasis kesadaran kebangsaan (nasionalisme), untuk menggantikan semangat kedaerahan yang bersifat sporadis dan berdimensi sempit.
Pada peristiwa Sumpah Pemuda 1928, pemuda kembali menunjukkan perannya sebagai pengubah peradaban bangsa. Sumpah Pemuda merupakan fase terpenting yang dicetuskan pemuda dalam prosesi kelahiran nation-state Indonesia. Secara prinsip, Sumpah Pemuda merupakan kesepakatan sosial (social agreement) dari segenap komponen rakyat demi melahirkan entitas “Indonesia”. Halmana disusul oleh kesepakatan politik Para Pendiri Bangsa berupa Proklamasi Kemerdekaan 1945 yang melahirkan negara Indonesia merdeka yang berbasiskan pada platform dasar: NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Di setiap babak sejarah bangsa ini, pemuda selalu berusaha mempertahankan idealisme kejuangan dan militansi gerakannya. Seusai kemerdekaan, pemuda secara konsisten tetap berikhtiar dan berperan dalam menentukan hitam-putihnya masa depan negeri ini. Di era pembangunan yang ditandai oleh beberapa kali pergantian rezim kekuasaan, pemuda menunjukkan bargaining position yang kuat, termasuk ketika Indonesia memasuki era transisi demokrasi bernama gerakan reformasi. Sejarah pergerakan nasional telah membuktikan bahwa pemuda memiliki posisi dan peran strategis dalam mengubah peradaban bangsanya.
Ketika menerima mandat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004 yang lalu, Menpora Adhyaksa Dault langsung menempuh langkah-langkah mendasar untuk mengakselerasi pembangunan kepemudaan dan keolahragaan di Indonesia. Menpora memandang bahwa pemuda dan olahraga merupakan dua pilar bangsa yang amat penting untuk menguatkan pembentukan karakter bangsa (nation and character building). Inilah sesungguhnya pandangan dasar atau basis kebijakan Menpora yang selanjutnya harus diderivasikan dan dikonkritkan melalui program kerja dan kegiatan Kemenegpora.
Basis kebijakan pemerintah berasas pada Tiga Agenda Pokok Pemerintahan SBY-JK yakni menciptakan Indonesia yang aman dan damai; menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis; dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Berpedomankan tiga agenda pokok tersebut, program pembangunan kepemudaan dan keolahragaan dirumuskan, dijalankan, dan dievaluasi demi menopang pembangunan nasional yang bermuara pada tercapainya kesejahteraan rakyat.
Dalam kapasitas sebagai regulator, Pemerintah melalui Kemennegpora telah menempuh sejumlah kebijakan mendasar guna mengakselerasi pembangunan kepemudaan dan keolahragaan. Bersama dengan DPR, Kemennegpora telah melahirkan UU Sistem Keolahragaan Nasional (UU/3/2005). Saat ini, Kemennegpora sedang berkonsentrasi mempersiapkan lahirnya undang-undang kepemudaan. Dalam hubungan ini, telah dirampungkan Naskah Akademis sekaligus materi RUU Kepemudaan, dan telah pula disosialisasikan ke segenap stakeholders. Selain itu, materi RUU Kepemudaan telah diharmonisasikan dengan berbagai instansi terkait dan segenap stakeholders kepemudaan.
Pergeseran paradigma pemuda sebagai social category dilakukan mengingat potensi kualitatif dan kuantitatif dari pemuda yang bersifat strategis. Kiranya dimaknai bahwa positioning pemuda dalam konfigurasi kehidupan bangsa bersentuhan langsung dengan masa depan bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, dari perspektif pemuda sebagai social category, pemuda mesti terus mengalami pemberdayaan (empowering), baik dengan ditopang oleh regulasi pemerintah, maupun oleh kemampuan pemuda untuk mandiri.
Adapun paradigma pemuda sebagai social category dapat dimaknai dari tiga perspektif, yakni: Pertama, perspektif filosofis; bahwa pemuda sebagaimana kodrat manusia adalah makhluk sosial (homo socius) yang memiliki peran eksistensial dengan beragam dimensi antara lain dimensi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Artinya, secara kodrati pemuda mesti menjalankan peran eksistensialnya sebagai makhluk sosial.
Kedua, perspektif historis; pasca gerakan reformasi 1998, terjadi pergeseran paradigma di semua lini publik. Di masa lalu, pemuda cenderung diposisikan sebagai komoditas politik sehingga mengakibatkan bargaining position pemuda menjadi amat lemah. Halmana mengakibatkan kurang terapresiasinya pemuda yang berada di luar area kelompok elite. Pergeseran paradigma pemuda sebagai social category dimaksudkan untuk memposisikan pemuda sebagai aset strategis bangsa.
Ketiga, perspektif kompetensi; bahwa pemuda merupakan segmen warga negara yang memiliki aneka kompetensi yang dapat memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan negara. Paradigma pemuda sebagai social category sesungguhnya hendak menegaskan bahwa apresiasi terhadap \pemuda melingkupi seluruh lapis profesi pemuda termasuk yang memilih politik sebagai domain praksis profesionalnya. Artinya, para pemuda yang memipemuda itu tapi justru hendak menegaskan bahwa hak-hak politik merupakan bagian yang tidak terpisahkan (inherent) dari eksistensi pemuda sebagai social category.
Mengingat peran strategis pemuda, serta selaras dengan basis kebijakan Menpora, maka sudah saatnya diperlukan keberadaan payung hukum yang bersifat permanen dalam konteks pembangunan kepemudaan. Dengan begitu, pemuda memperoleh jaminan dari negara atas hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Dalam hubungan ini, Kemenegpora saat ini sedang mempersiapkan kelahiran undang-undang kepemudaan yang kini sudah dalam wujud RUU Kepemudaan, dan telah disosialisasikan kepada segenap pemangku kepentingan (stakeholders).
1. Masalah Kepemudaan.
Sebelum mengelaborasi mengenai partisipasi pemuda dalam pembangunan nasional, sejenak kita simak permasalahan yang melingkupi pemuda antara lain:
a. Misorientasi pemuda dalam menatap masa depan yang cenderung melihat politik sebagai panglima; akibatnya pemuda berlomba-lomba merebut kekuasaan dibidang politik, bukan dibidang ekonomi;
b. Rendahnya akses dan kesempatan pemuda untuk memperoleh pendidikan;
c. Rendahnya minat membaca di kalangan pemuda yaitu sekitar 37,5 persen;
d. Rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pemuda yaitu sekitar 65,9 persen;
e. Belum serasinya kebijakan kepemudaan di tingkat nasional dan daerah;
f. Tingginya tingkat pengangguran terbuka pemuda yang mencapai sekitar 19,5 persen;
g. Maraknya masalah-masalah sosial di kalangan pemuda, seperti kriminalitas, premanisme, narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA), dan HIV.
h. Ancaman harga diri bagi pemuda akibat adanya terorisme;
i. Penyaluran aspirasi yang cenderung destruktif.
2. Diagnosa Mempercepat Partisipasi Pemuda Dalam Pembangunan Nasional
Dengan memahami permasalahan pemuda, maka diagnosa atas permasalahan itu akan dilakukan secara lebih tepat, yang pada gilirannya akan memacu partisipasi pemuda dalam pembangunan nasional. Sehubungan dengan ini, Pemerintah, dalam hal ini Kemennegpora meletakkan prioritas pembangunan kepemudaan pada aspek:
a. Nation and Character Building (pembangunan watak manusia Indonesia)
b. Peningkatan kapasitas dan daya saing pemuda
Guna mendorong partisipasi pemuda dalam pembangunan nasional, maka pemerintah meletakkan paradigma pembangunan kepemudaan sebagai berikut:
a. Mengutamakan Pemuda Sebagai Kategori Sosial (Social Category) dari pada Kategori Politik (Political Category)
b. Menghindarkan tiga langkah traumatis dalam pembangunan kepemudaan yakni:
1) Pembinaan
2) Pengawasan
3) Pengaturan
c. Melakukan reformasi pembangunan kepemudaan dengan melaksanakan tiga langkah pembangunan kepemudaan, yakni:
1) Pemberdayaan
Upaya yang dilakukan secara sistematis guna membangkitkan potensi pemuda agar berkemampuan untuk berperan serta dalam pembangunan. Memposisikan pemuda sebagai potensi dan kader yang harus dikembangkan. (Memperjelas mana terigu, mana roti).
2) Pengembangan
Pengembangan pemuda yaitu upaya sistematis yang dilakukan untuk menumbuhkembangkan potensi kepemimpinan, kewirausahaan dan kepeloporan pemuda.
3) Perlindungan
Upaya sistematis yang dilakukan dalam rangka menjaga dan menolong pemuda terutama dalam menghadapi hal-hal sebagai berikut :
a) Demoralisasi
b) Degradasi Nasionalisme
c) Penetrasi paham non Pancasilais
d) Pengaruh Destruktif seperti Narkoba dan HIV/AIDS,
e) Perlindungan terhadap proses regenerasi, serta
f) Perlindungan terhadap hak dan kewajiban pemuda.
3. Sepuluh Kegiatan Prioritas Pembangunan Kepemudaan
Guna memotivasi pemuda untuk membangkitkan peranannya dalam pembangunan nasional, maka pemerintah menetapkan 10 kegiatan prioritas khusus dalam bidang pemberdayaan pemuda.
a. Menyelesaikan dan mensosialisasi UU tentang kepemudaan
b. Meningkatkan keserasian kebijakan pemuda;
c. Menyelenggarakan pertukaran pemuda antar negara;
d. Menyelenggarakan Pendidikan Bela Negara dan Jambore Pemuda Indonesia;
e. Mengembangkan wawasan dan kreativitas pemuda;
f. Mengembangkan Sentra Pemberdayaan Pemuda;
g. Meningkatkan Kapasitas IPTEK dan IMTAK Pemuda;
h. Memperluaskan Pilot Project Pengembangan Rumah Olah Mental Pemuda Indonesia (ROMPI);
i. Meningkatkan Pengelolaan Lembaga Kepemudaan;
j. Mengembangkan Sistim Informasi Lembaga Kepemudaan
4. Peran Strategis Yang Harus Di Lakukan Oleh Pemuda Dalam Pembangunan Nasional.
Peran strategis sebagai upaya yang harus dilakukan oleh para pemuda dalam mengakselerasi pembangunan nasional adalah mendorong terciptanya :
• Iklim Kondusif
• Harmonisasi
• Good Governance
a. Iklim Kondusif
Iklim kondusif sangat diperlukan dalam mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan sangat ditentukan oleh seberapa besar kehidupan perekonomian itu bisa berjalan. Sementara nafas dari kegiatan perekonomian ialah berlangsungnya investasi dalam segala bentuk manivestasinya. Dengan berjalannya dunia investasi maka berdampak kepada semakin terbukanya lapangan pekerjaan. Dengan terbukanya lapangan perkerjaan tentu saja upaya mempertahankan hidup akan dilakukan dengan cara yang benar, sehingga para pemuda dapat terhindar dari perbuatan yang tidak benar seperti : mencuri; merampok (skala besar maupun kecil); mencopet; memeras; pungli; mengoplos minyak; menyelundup; dagang narkoba; dagang ABG; berjudi; korupsi/menyalahgunakan jabatan; dan lain sejenisnya. Sebaliknya bila iklim tidak kondusif, maka dunia investasi tidak akan dapat berjalan dengan baik, sehingga lapangan pekerjaan tertutup dan orang dalam mempertahankan hidupnya akan menggunakan cara-cara yang tidak benar.
b. Harmonisasi.
Sumber-sumber konflik yang sering terjadi didalam masyarakat majemuk biasanya berasal dari persentuhan antara orang yang memiliki kesamaan ciri dengan kelompok lain yang berbeda latar belakangnya seperti; agama, etnis, pandangan politik, kelompok kepentingan atau organisasi serta perbedaan lainnya.
Indonesia adalah suatu bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk. Oleh sebab itu upaya untuk memelihara harmonisasi sangat penting artinya agar masyarakat dalam berbagai posisi dan lapisannya dapat hidup berdampingan secara damai. Tentu saja keadaan ini juga berkaitan erat dengan iklim kondusif itu. Oleh karenanya forum-forum yang dapat mengakomodir kemajukan seperti Forum Komunikasi Antar Pemuda Agama, Forum komunikasi Lintas Adat, Forum Komunikasi Lintas Pemuda, sangat penting artinya sebagai kawasan penyangga bila terjadi ancaman terhadap terusiknya suasana harmonis itu. Disinilah para pemuda dapat memainkan perannya sebagai garda terdepan untuk bisa menjaga suasana harmonis itu terutama dilingkungan pergaulannya sendiri (peer group nya). Konflik-konflik yang mungkin muncul karena disebabkan adanya persoalan dikalangan pemuda, segera dapat diatasi dengan mengefektifkan peran komunikasi lintas pemuda, sehingga masalah yang kecil tidak sampai melebar dan menyebakan terjadi konflik horizontal antar sesama pemuda.
c. Good Governance.
Sepuluh prinsip Tata Pemerintahan yang baik yang selama ini telah menjadi pedoman bagi penyelenggaraan tata pemerintahan di Indonesia ialah : (1) Partisipasi, (2) Penegakan Hukum, (3) Transparansi, (4) Kesetaraan, (5) Daya Tanggap, (6) Wawasan ke Depan, (7) Akuntabilitas, (8) Pengawasan, (9) Efisiensi & Efektifitas, dan (10) Profesionalisme. Sepuluh prinsip ini sejalan dengan perkembangan penyelenggaran sistem pemerintahan di Indonesia yang merubah asas sentralisasi menjadi desentralisasi yang dikenal dengan otonomi daerah.
Salah satu tujuan pemberian otonomi adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat. Untuk itu pemerintah daerah dituntut memahami secara lebih baik kebutuhan masyarakat yang terdiri dari berbagai lapisan. Pemerintah daerah harus melibatkan seluruh unsur masyarakat dalam proses pembangunan. Tata-pemerintahan di daerah harus diselenggarakan secara partisipatif. Penyelenggaraan pemerintahan yang eksklusif hanya melibatkan unsur pemerintah dan/atau legislatif akan membuat masyarakat tidak peduli pada pembangunan. Hal ini lebih lanjut akan menyebabkan keberlanjutan pembangunan menjadi sangat rapuh dan rentan.
Partisipasi masyarakat dapat terwujud seiring dengan tumbuhnya rasa percaya masyarakat kepada para penyelenggara pemerintahan di daerah. Rasa percaya ini akan tumbuh apabila masyarakat memperoleh pelayanan dan kesempatan yang setara (equal). Tidak boleh ada perlakuan yang didasari atas dasar perbedaan pria-wanita, kaya-miskin, kesukuan dan agama. Pembedaan perlakuan atas dasar apapun dapat menumbuhkan kecemburuan dan mendorong terjadinya konflik sosial di masyarakat.
Guna terlaksananya prinsip-prinsip Good Governance dalam penyelenggaraan pemerintahan, para pemuda dapat memainkan perannya baik secara partisipatif yang terlibat langsung didalam penyelenggaraan pemerintahan maupun dengan menggiatkan upaya-upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan posisi dan peran historisnya, pemuda memiliki potensi strategis untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Melalui persebaran potensi dan kualitas pemuda yang merata di berbagai lini pengabdian sosial, para pemuda diharapkan mampu memosisikan dirinya sebagai kader-kader bangsa yang tangguh dalam meneruskan perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan. Kita berharap, pemuda mampu membentuk dirinya sebagai pemimpin bangsa di masa depan, dan mampu menggapai masa depan Indonesia yang lebih bermartabat, di bawah payung NKRI yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Senin, 10 November 2008
Partisipasi Pembangunan Kaum Muda
Pemuda dan mahasiswa serta geliat gerakan mahasiswa mengalami booming pada dekade 70-an, yang perannya tumbuh dan mengait kuat dengan dunia politik. Hal itu berpengaruh signifikan pada tampilnya kembali sosok politik pemuda. Pascakampus, para mantan aktivis mahasiswa aktif dalam organisasi kepemudaan, partai politik, LSM, perguruan tinggi, pers, dan dunia bisnis.
Kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka, terutama mantan aktivis berlatar profesional-entrepreneur untuk duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun, tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan harus mengalami disorientasi visi dan terjebak dalam arus pragmatisme politik.
Penyebabnya adalah, tren politik nasional diwarnai secara kental oleh kegiatan ekonomi pasar. Pasar telah menjadi arena political game baru, yang mempenetrasi wilayah politik dan perilaku para aktornya. Tren politik berbasis pasar (industri politik) juga tumbuh seiring dengan sikap elite politik yang kian arogan, parokial, dan partitokrat (perilaku partai yang suka "merampas" kedaulatan rakyat).
Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas politik itu sesungguhnya adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang nepotik, kolutif, dan koruptif. Ketika sikap pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi. Persoalannya kemudian, bagaimana menjamin proses transisi politik dari generasi tua ke generasi muda tidak kembali terjebak pada model regenerasi elitis, pragmatis, subjektif, dan fragmentatif?
Kaum muda harus berani merombak watak budaya politik "banalisme" yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Dalam moment pemilihan umum 2009 yang sudah diambang waktu dan memperingati 80 Tahun Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 2008, diharapkan pemuda tidak hanyut dalam permainan politik semu belaka, tetapi diharapkan pemuda dan mahasiswa mampu melakukan proses pendidikan dan penyadaran politik bagi masyarakat. Pemuda yang memiliki semangat baru semestinya menjadi penentu dalam membangun demokrasi di bangsa ini, bukan malah menjadi politisi-politisi gadungan memanfaatkan moment yang ada untuk memperkaya diri sendiri. Selain itu pemuda juga harus memperkuat komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik dan badan legislatif sebagai arena perjuangan kepentingan rakyat. Pemuda yang terlibat di dalam partai politik bukan hanya sekedar pemenuhan posisi struktural partai politik, tetapi mereka seharusnya mampu melakukan pola-pola perubahan terhadap orientasi partai yang ada sehingga partai politik tidak menjadi sebuah wadah yang apatis bagi masyarakat, tetapi masyarakat menjadikan partai politik sebagai saluran aspirasi mereka terhadap peningkatan kemakmuran bangsa dan negara ini. Selain itu pemuda juga seharusnya mampu menjadi alat pengontrol dan juga mendorong birokrasi yang bersih, profesional, dan berorientasi pada pelayanan (good corporate governance).
Pemuda yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan memiliki watak perubahan dan selalu dinamis merupakan elemen penting untuk mendesak lembaga struktur kekuasaan yang ada agar mampu menjamin bekerjanya fungsi check and balance di antara lembaga-lembaga negara. Dan juga Pemuda diharapkan mampu membangun jiwa kewirausahaan sehingga mampu memperluas lapangan pekerjaan dan terlepas dari kungkungan kapitalis barat.
Kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka, terutama mantan aktivis berlatar profesional-entrepreneur untuk duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun, tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan harus mengalami disorientasi visi dan terjebak dalam arus pragmatisme politik.
Penyebabnya adalah, tren politik nasional diwarnai secara kental oleh kegiatan ekonomi pasar. Pasar telah menjadi arena political game baru, yang mempenetrasi wilayah politik dan perilaku para aktornya. Tren politik berbasis pasar (industri politik) juga tumbuh seiring dengan sikap elite politik yang kian arogan, parokial, dan partitokrat (perilaku partai yang suka "merampas" kedaulatan rakyat).
Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas politik itu sesungguhnya adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang nepotik, kolutif, dan koruptif. Ketika sikap pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi. Persoalannya kemudian, bagaimana menjamin proses transisi politik dari generasi tua ke generasi muda tidak kembali terjebak pada model regenerasi elitis, pragmatis, subjektif, dan fragmentatif?
Kaum muda harus berani merombak watak budaya politik "banalisme" yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Dalam moment pemilihan umum 2009 yang sudah diambang waktu dan memperingati 80 Tahun Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 2008, diharapkan pemuda tidak hanyut dalam permainan politik semu belaka, tetapi diharapkan pemuda dan mahasiswa mampu melakukan proses pendidikan dan penyadaran politik bagi masyarakat. Pemuda yang memiliki semangat baru semestinya menjadi penentu dalam membangun demokrasi di bangsa ini, bukan malah menjadi politisi-politisi gadungan memanfaatkan moment yang ada untuk memperkaya diri sendiri. Selain itu pemuda juga harus memperkuat komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik dan badan legislatif sebagai arena perjuangan kepentingan rakyat. Pemuda yang terlibat di dalam partai politik bukan hanya sekedar pemenuhan posisi struktural partai politik, tetapi mereka seharusnya mampu melakukan pola-pola perubahan terhadap orientasi partai yang ada sehingga partai politik tidak menjadi sebuah wadah yang apatis bagi masyarakat, tetapi masyarakat menjadikan partai politik sebagai saluran aspirasi mereka terhadap peningkatan kemakmuran bangsa dan negara ini. Selain itu pemuda juga seharusnya mampu menjadi alat pengontrol dan juga mendorong birokrasi yang bersih, profesional, dan berorientasi pada pelayanan (good corporate governance).
Pemuda yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan memiliki watak perubahan dan selalu dinamis merupakan elemen penting untuk mendesak lembaga struktur kekuasaan yang ada agar mampu menjamin bekerjanya fungsi check and balance di antara lembaga-lembaga negara. Dan juga Pemuda diharapkan mampu membangun jiwa kewirausahaan sehingga mampu memperluas lapangan pekerjaan dan terlepas dari kungkungan kapitalis barat.
Partisipasi Gerakan Politik Mahasiswa
by:akhyar anshori
Mahasiswa adalah sebuah kelompok masyarakat yang menikmati kesempatan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Mereka adalah sebuah lapisan masyarakat terdidik. Sesuai dengan perkembangan usianya yang secara emosional sedang bergejolak menuju kematangan dan berproses menemukan jatidiri, dan sebagai sebuah lapisan masyarakat yang belum banyak dicemari kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis, mahasiswa adalah sebuah lapisan masyarakat yang beorientasi pada nilai-nilai ideal dan kebenaran. Karena orientasi idealis dan pembelaannya pada kebenaran, sebagian ahli memasukkan mahasiswa ke dalam kelompok cendikiawan (Arief Budiman). Cendikiawan menurut Julien Benda adalah “whose activity not the pursuit of practical aims.” Atau Lewis Coser menggambarkan mahasiswa sebagai ”yang tidak pernah puas dengan kenyataan sebagaimana adanya … mereka mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada zamannya dan mencari kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas” (Lewis A. Coser ).
Karena secara kuantitas mahasiswa bersifat massal, maka dampak politik mahasiswa sering tidak terhindarkan dalam berbagai komunitas masyarakat atau negara. Dalam konteks inilah, mahasiswa sering berperan mewarnai perkembangan masyarakat, perubahan sosial dan kehidupan politik. Gerakan sosial politik mahasiswa umumnya berperan sebagai pembawa suara kebenaran dan kontrol sosial terhadap lingkungan sosial politik dan penyelenggaraan pemerintahan sebuah negara. Beberapa negara yang pemerintahannya korup dan otoriter telah jatuh karena gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan mahasiswa seperti penggulingan Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958 dan Ayub Khan di Pakistan tahun 1969.
Akan tetapi gerakan mahasiswa yang ada hari ini mesti ditafsirkan ulang secara lebih aktual dan kontekstual sesuai dengan perkembangan sosio-kultural kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dewasa ini. Kontekstualisasi gerakan pemuda Indonesia penting sebagai konsekuensi logis perkembangan sejarah kehidupan manusia dan Bangsa Indonesia yang tidak lepas dari ruang dan waktu. Pesta demokrasi nasional maupun lokal telah membawa dan membius gerakan mahasiswa akan kepragmatisannya terhadap kegiatan politik yang ada. Mahasiswa bahkan tidak sungkan lagi mendukung pasangan calon kepala daerah yang ada sehingga menjual idealisme mahasiswanya, yang pada akhirnya akan mematikan pola-pola pergerakan mahasiswa yang selalu maju kedepan untuk melakukan tiap-tiap perubahan demi kesejahteraan rakyat banyak.
Dengan demikian Visi dan misi gerakan mahasiswa Indonesia mesti diarahkan pada fragmentasi proses perubahan sosial politik dan ekonomi yang lebih berpihak pada kepentingan hidup masyarakat luas di negeri ini bukan malah menjadi aktor-aktor politik kacangan yang hanya memanfaatkan moment pemilihan kepala daerah sebagai objek pencarian keuntungan sesaat dan melepaskan diri dari tanggung jawab social control terhadap kemajuan masyarakat umumnya.
Gerakan mahasiswa itu harus lebih mengacu pada proses pemberdayaan dan pengembangan masyarakat (community development), baik dalam kerangka pemikiran maupun praksisnya di lapangan. Gerakan-gerakan sosial seperti aksi jalanan atau demonstrasi sebagai satu model ekspresi kritik sosial atas kebijakan publik dan politik --yang dipandang kurang berpihak atas kepentingan hidup masyarakat luas-- tetap penting. Tapi konseptualisasi-konseptualisasi gagasan yang bersifat sistematis guna merubah dan atau memengaruhi arah kebijakan politik itu juga penting, sehingga aksi ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Aspek inilah yang selama ini tampak diabaikan oleh para mahasiswa Indonesia.
Ada banyak fakta yang menjadi rahasia umum di kalangan gerakan pemuda bahwa gerakan-gerakan yang eksis kini terlihat hanya merupakan sempalan dari gerakan politik tertentu. Banyak pemuda kini yang hidupnya mengabdi pada kepentingan kekuasan dan politik. Lahirnya wacana ''gerakan mahasiswa bayaran'', misalnya, adalah contoh kuat argumentasi ini. Jelas, gerakan ini sama sekali tidak mencerminkan watak dasar gerakan kaum muda itu sendiri
Sementara objektivikasi perjuangannya harus senantiasa mengacu pada klausul-klausul teoretis yang memungkinkan tercapainya tingkat kesejahteraan hidup masyarakat secara luas di negeri ini. Oleh karena itu, gerakan-gerakan kaum muda tidak sebatas mengkritisi berbagai kebijakan publik dan politik tetapi adalah bagaimana membangun konseptualisasi-konseptualisasi teoritis guna menyelesaikan berbagai persoalan sosial yang kini menghambat proses pertumbuhan pembangunan bangsa. Karena konseptualisasi yang dilahirkan mahasiswa merupakan penyelesaian masalah (problem solving) dalam mengatasi berbagai permasalahan di negeri ini. Bukan malah sebaliknya menjadi boneka-boneka yang dimainkan oleh para politisi demi mengamankan kepentingannya. Gerakan mahasiswa seharusnya merupakan sebuah gerakan moril yang dilakukan untuk menyadarkan masyarakat dan bersama-sama masyarakat melakukan kontrol terhadap pemerintah. Proses pemberdayaan masyarakat bukan hanya dilakukan melalui kegiatan teknis saja, tetapi sejauh mana masyarakat paham dan peduli terhadap pembangunan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Mahasiswa adalah sebuah kelompok masyarakat yang menikmati kesempatan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Mereka adalah sebuah lapisan masyarakat terdidik. Sesuai dengan perkembangan usianya yang secara emosional sedang bergejolak menuju kematangan dan berproses menemukan jatidiri, dan sebagai sebuah lapisan masyarakat yang belum banyak dicemari kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis, mahasiswa adalah sebuah lapisan masyarakat yang beorientasi pada nilai-nilai ideal dan kebenaran. Karena orientasi idealis dan pembelaannya pada kebenaran, sebagian ahli memasukkan mahasiswa ke dalam kelompok cendikiawan (Arief Budiman). Cendikiawan menurut Julien Benda adalah “whose activity not the pursuit of practical aims.” Atau Lewis Coser menggambarkan mahasiswa sebagai ”yang tidak pernah puas dengan kenyataan sebagaimana adanya … mereka mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada zamannya dan mencari kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas” (Lewis A. Coser ).
Karena secara kuantitas mahasiswa bersifat massal, maka dampak politik mahasiswa sering tidak terhindarkan dalam berbagai komunitas masyarakat atau negara. Dalam konteks inilah, mahasiswa sering berperan mewarnai perkembangan masyarakat, perubahan sosial dan kehidupan politik. Gerakan sosial politik mahasiswa umumnya berperan sebagai pembawa suara kebenaran dan kontrol sosial terhadap lingkungan sosial politik dan penyelenggaraan pemerintahan sebuah negara. Beberapa negara yang pemerintahannya korup dan otoriter telah jatuh karena gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan mahasiswa seperti penggulingan Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958 dan Ayub Khan di Pakistan tahun 1969.
Akan tetapi gerakan mahasiswa yang ada hari ini mesti ditafsirkan ulang secara lebih aktual dan kontekstual sesuai dengan perkembangan sosio-kultural kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dewasa ini. Kontekstualisasi gerakan pemuda Indonesia penting sebagai konsekuensi logis perkembangan sejarah kehidupan manusia dan Bangsa Indonesia yang tidak lepas dari ruang dan waktu. Pesta demokrasi nasional maupun lokal telah membawa dan membius gerakan mahasiswa akan kepragmatisannya terhadap kegiatan politik yang ada. Mahasiswa bahkan tidak sungkan lagi mendukung pasangan calon kepala daerah yang ada sehingga menjual idealisme mahasiswanya, yang pada akhirnya akan mematikan pola-pola pergerakan mahasiswa yang selalu maju kedepan untuk melakukan tiap-tiap perubahan demi kesejahteraan rakyat banyak.
Dengan demikian Visi dan misi gerakan mahasiswa Indonesia mesti diarahkan pada fragmentasi proses perubahan sosial politik dan ekonomi yang lebih berpihak pada kepentingan hidup masyarakat luas di negeri ini bukan malah menjadi aktor-aktor politik kacangan yang hanya memanfaatkan moment pemilihan kepala daerah sebagai objek pencarian keuntungan sesaat dan melepaskan diri dari tanggung jawab social control terhadap kemajuan masyarakat umumnya.
Gerakan mahasiswa itu harus lebih mengacu pada proses pemberdayaan dan pengembangan masyarakat (community development), baik dalam kerangka pemikiran maupun praksisnya di lapangan. Gerakan-gerakan sosial seperti aksi jalanan atau demonstrasi sebagai satu model ekspresi kritik sosial atas kebijakan publik dan politik --yang dipandang kurang berpihak atas kepentingan hidup masyarakat luas-- tetap penting. Tapi konseptualisasi-konseptualisasi gagasan yang bersifat sistematis guna merubah dan atau memengaruhi arah kebijakan politik itu juga penting, sehingga aksi ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Aspek inilah yang selama ini tampak diabaikan oleh para mahasiswa Indonesia.
Ada banyak fakta yang menjadi rahasia umum di kalangan gerakan pemuda bahwa gerakan-gerakan yang eksis kini terlihat hanya merupakan sempalan dari gerakan politik tertentu. Banyak pemuda kini yang hidupnya mengabdi pada kepentingan kekuasan dan politik. Lahirnya wacana ''gerakan mahasiswa bayaran'', misalnya, adalah contoh kuat argumentasi ini. Jelas, gerakan ini sama sekali tidak mencerminkan watak dasar gerakan kaum muda itu sendiri
Sementara objektivikasi perjuangannya harus senantiasa mengacu pada klausul-klausul teoretis yang memungkinkan tercapainya tingkat kesejahteraan hidup masyarakat secara luas di negeri ini. Oleh karena itu, gerakan-gerakan kaum muda tidak sebatas mengkritisi berbagai kebijakan publik dan politik tetapi adalah bagaimana membangun konseptualisasi-konseptualisasi teoritis guna menyelesaikan berbagai persoalan sosial yang kini menghambat proses pertumbuhan pembangunan bangsa. Karena konseptualisasi yang dilahirkan mahasiswa merupakan penyelesaian masalah (problem solving) dalam mengatasi berbagai permasalahan di negeri ini. Bukan malah sebaliknya menjadi boneka-boneka yang dimainkan oleh para politisi demi mengamankan kepentingannya. Gerakan mahasiswa seharusnya merupakan sebuah gerakan moril yang dilakukan untuk menyadarkan masyarakat dan bersama-sama masyarakat melakukan kontrol terhadap pemerintah. Proses pemberdayaan masyarakat bukan hanya dilakukan melalui kegiatan teknis saja, tetapi sejauh mana masyarakat paham dan peduli terhadap pembangunan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
MEMBANGKITKAN GERAKAN POLITIK MAHASISWA
oleh:AKHYAR ANSHORI
Diskurkus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan dalam tiap diskusi-diskusi yang terlaksana.. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi melawan para penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Alasan utama menempatkan mahasiswa beserta gerakannya secara khusus dalam tulisan singkat ini lantaran kepeloporannya sebagai "pembela rakyat" serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya.
Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mahasiswa dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya dan memberikan solusi atas permasalahan yang ada. Pelbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti; petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa jika dibandingkan dengan intelektual profesional lebih punya keahlian dan efektif.
Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain mengiringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekuatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif ( ingat teori snow bowling).
Diskurkus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan dalam tiap diskusi-diskusi yang terlaksana.. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi melawan para penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Alasan utama menempatkan mahasiswa beserta gerakannya secara khusus dalam tulisan singkat ini lantaran kepeloporannya sebagai "pembela rakyat" serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya.
Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mahasiswa dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya dan memberikan solusi atas permasalahan yang ada. Pelbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti; petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa jika dibandingkan dengan intelektual profesional lebih punya keahlian dan efektif.
Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain mengiringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekuatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif ( ingat teori snow bowling).
kontroversi penggunaan suara tebanyak dalam pemilu 2009
Hingga saat ini sedikitnya terdapat 9 partai politik (parpol) yang akan menerapkan sistem suara terbanyak dalam menetapkan calon legislatif (caleg) 2009 nanti. Parpol itu antara lain: PAN, Golkar, Demokrat, Barnas, Hanura, PBR, PDS, PDIP dan PNBK. PDIP memakai suara terbanyak bila ada caleg yang mendapatkan suara 15 % BPP namun bila tidak ada maka kembali ke nomor urut sedangkan PNBK menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di suatu daerah pemilihan (dapil).
Dengan diterapkannya sistem suara terbanyak maka sudah terdapat dua sistem yang dipakai dalam menetapkan caleg terpilih. Pertama, tetap mengacu kepada Undang-Undang Pemilu No 10 Tahun 2008. UU Pemilu ini mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan perolehan suara calon yang mendapatkan 30 % dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di dapil tersebut. Bila tidak ada caleg yang memenuhi kuota tersebut maka, calon akan ditetapkan sesuai dengan nomor urut (sistem proporsional terbuka terbatas). Kedua, dengan menggunakan suara terbanyak dengan mengenyampingkan nomor urut ( sistem proporsional terbuka murni) seperti yang diamanatkan Undang-Undang.
Lebih Demokratis
Dipilihnya sistem suara terbanyak oleh beberapa parpol patut diberikan apresiasi karena telah menghembuskan angin segar bagi demokrasi kita. Selama ini sistem nomor urut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan karena terpilihnya caleg berdasarkan nomor urut dan bukan berdasarkan suara yang diperolehnya. Dalam kata lain seorang caleg ditetapkan menjadi anggota legislatif adalah berasal dari kedekatannya dengan partai ketimbang kedekatan dengan masyarakat/ konstituennya. Hal ini biasanya akan menimbulkan split loyalty didalam internal partai dimana kader partai yang duduk di legislatif cenderung sangat loyal kepada pengurus parpol ketimbang pemilih yang menjadi konstituennya demi untuk mendapatkan nomor urut yang kecil dalam pemilu legislatif berikutnya.
Sebaliknya sistem yang berdasarkan suara terbanyak akan menumbuhkan kompetisi yang bagus antara caleg parpol yang berbeda maupun sesama caleg dalam satu partai. Dalam sistem ini, semua caleg mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi caleg terpilih. Terpilih atau tidaknya caleg tergantung usaha dia untuk mempopulerkan diri dan meraih simpati pemilih. Sehingga caleg yang terpilih adalah caleg yang benar-benar mempunyai kapasitas yang mumpuni dan mampu untuk menjelaskan program-programnya dengan baik ke masyarakat. Bukan caleg yang sekedar mengandalkan lobi ke petinggi parpol untuk mendapatkan nomor urut yang kecil – seringkali dalam proses ini terjadi politik uang-- padahal kapasitas dan integritasnya belum teruji ditengah masyarakat.
Melanggar UU
Mekanisme suara terbanyak memang lebih demokratis, kompetitif dan memenuhi rasa keadilan dibandingkan dengan menggunakan nomor urut namun, penerapan sistem ini melanggar Undang-Undang Pemilu sehingga menimbulkan beberapa masalah baru antara lain; pertama;. Caleg nomor urut kecil dengan suara minim bisa saja menolak mengundurkan diri untuk digantikan oleh caleg yang mendapatkan suara terbanyak (namun tidak memenuhi 30 % BPP) dengan nomor urut dibawahnya. Meskipun mekanisme internal partai sudah melakukan proses hukum melalui perjanjian tertulis dan di notariskan, namun tetap akan terjadi ketidakpastian hukum ( legal uncertainty ).
Bila itu terjadi, maka kekuatan hukum Undang-Undang lebih tinggi dari kesepakatan internal partai sehingga KPU bisa menganulir kesepakatan internal partai dengan sistem suara terbanyak itu. KPU tetap akan berpegang kepada UU Pemilu untuk menetapkan dan melantik anggota legislatif yang terpilih berdasarkan pemenuhan kuota 30 % atau kembali ke nomor urut.
Kedua; Konflik hukum akan muncul bila caleg yang mendapatkan suara terbanyak menggugat KPU/KPUD karena tidak mengindahkan mekanisme internal partai. Proses gugatan hukum ini tentu saja akan memperlambat penetapan caleg terpilih dan mengganggu kinerja KPU/KPUD. Caleg dengan suara terbanyak juga bisa melakukan gugatan wanprestasi terhadap caleg terilih yang ditetapkan KPU dengan sistem nomor urut. Proses ini akan berlangsung lama bahkan hingga batas waktu yang diperebutkan berakhir.
Ketiga; Dalam sistem suara terbanyak apabila caleg yang meraih suara terbanyak memiliki nomor urut besar maka caleg yang memiliki nomor urut kecil harus sukarela mengundurkan diri sebagai caleg terpilih dengan konsekuensi kehilangan haknya dalam PAW. Dengan kata lain suara pemilihnya akan terbuang percuma.
Memang, partai masih mempunyai mekanisme Penggantian Alih Waktu (PAW) dengan jalan memecat kader yang membangkang namun, jalan ini akan memakan waktu yang sangat panjang dan menghabiskan waktu dan energi yang tidak sedikit. Pada pemilu 2004 yang lalu konflik seperti ini mendera Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyebabkan penetapan calon suara terbanyak terkatung-katung. Seperti kasus yang terjadi di Sumatera Barat dimana beberapa caleg yang mendapatkan suara terbanyak tidak dilantik hingga saat ini karena calon yang harus di PAW menduduki posisi ketua atau sekretaris partai. Padahal yang harus menandatangai proses PAW adalah ketua dan sekretaris parpol tersebut dan tentu saja mereka tidak rela di PAW atau paling tidak memperlambat proses PAW hingga batas waktu perebutan kursi berakhir.
Bagaimanapun juga sistem suara terbanyak sangat sesuai dengan semangat demokrasi. Oleh karena itu, untuk menghindari rumitnya konflik suara terbanyak ini dikemudian hari maka parpol, DPR dan pemerintah harus segera mengambil langkah antisipatif dengan melakukan amandemen terbatas UU Pemilu. Proses amandemen ini bila disepakati tidak akan menghabiskan waktu yang panjang karena hanya menyangkut pasal 214 antara lain dengan menambahkan klausul untuk mengakomodir mekanisme internal partai dalam menentukan caleg terpilih. Bila ini tidak dilakukan maka KPU/KPUD, parpol akan disibukkan oleh gugatan hukum caleg yang terjadi di seantero Indonesia.
Dengan diterapkannya sistem suara terbanyak maka sudah terdapat dua sistem yang dipakai dalam menetapkan caleg terpilih. Pertama, tetap mengacu kepada Undang-Undang Pemilu No 10 Tahun 2008. UU Pemilu ini mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan perolehan suara calon yang mendapatkan 30 % dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di dapil tersebut. Bila tidak ada caleg yang memenuhi kuota tersebut maka, calon akan ditetapkan sesuai dengan nomor urut (sistem proporsional terbuka terbatas). Kedua, dengan menggunakan suara terbanyak dengan mengenyampingkan nomor urut ( sistem proporsional terbuka murni) seperti yang diamanatkan Undang-Undang.
Lebih Demokratis
Dipilihnya sistem suara terbanyak oleh beberapa parpol patut diberikan apresiasi karena telah menghembuskan angin segar bagi demokrasi kita. Selama ini sistem nomor urut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan karena terpilihnya caleg berdasarkan nomor urut dan bukan berdasarkan suara yang diperolehnya. Dalam kata lain seorang caleg ditetapkan menjadi anggota legislatif adalah berasal dari kedekatannya dengan partai ketimbang kedekatan dengan masyarakat/ konstituennya. Hal ini biasanya akan menimbulkan split loyalty didalam internal partai dimana kader partai yang duduk di legislatif cenderung sangat loyal kepada pengurus parpol ketimbang pemilih yang menjadi konstituennya demi untuk mendapatkan nomor urut yang kecil dalam pemilu legislatif berikutnya.
Sebaliknya sistem yang berdasarkan suara terbanyak akan menumbuhkan kompetisi yang bagus antara caleg parpol yang berbeda maupun sesama caleg dalam satu partai. Dalam sistem ini, semua caleg mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi caleg terpilih. Terpilih atau tidaknya caleg tergantung usaha dia untuk mempopulerkan diri dan meraih simpati pemilih. Sehingga caleg yang terpilih adalah caleg yang benar-benar mempunyai kapasitas yang mumpuni dan mampu untuk menjelaskan program-programnya dengan baik ke masyarakat. Bukan caleg yang sekedar mengandalkan lobi ke petinggi parpol untuk mendapatkan nomor urut yang kecil – seringkali dalam proses ini terjadi politik uang-- padahal kapasitas dan integritasnya belum teruji ditengah masyarakat.
Melanggar UU
Mekanisme suara terbanyak memang lebih demokratis, kompetitif dan memenuhi rasa keadilan dibandingkan dengan menggunakan nomor urut namun, penerapan sistem ini melanggar Undang-Undang Pemilu sehingga menimbulkan beberapa masalah baru antara lain; pertama;. Caleg nomor urut kecil dengan suara minim bisa saja menolak mengundurkan diri untuk digantikan oleh caleg yang mendapatkan suara terbanyak (namun tidak memenuhi 30 % BPP) dengan nomor urut dibawahnya. Meskipun mekanisme internal partai sudah melakukan proses hukum melalui perjanjian tertulis dan di notariskan, namun tetap akan terjadi ketidakpastian hukum ( legal uncertainty ).
Bila itu terjadi, maka kekuatan hukum Undang-Undang lebih tinggi dari kesepakatan internal partai sehingga KPU bisa menganulir kesepakatan internal partai dengan sistem suara terbanyak itu. KPU tetap akan berpegang kepada UU Pemilu untuk menetapkan dan melantik anggota legislatif yang terpilih berdasarkan pemenuhan kuota 30 % atau kembali ke nomor urut.
Kedua; Konflik hukum akan muncul bila caleg yang mendapatkan suara terbanyak menggugat KPU/KPUD karena tidak mengindahkan mekanisme internal partai. Proses gugatan hukum ini tentu saja akan memperlambat penetapan caleg terpilih dan mengganggu kinerja KPU/KPUD. Caleg dengan suara terbanyak juga bisa melakukan gugatan wanprestasi terhadap caleg terilih yang ditetapkan KPU dengan sistem nomor urut. Proses ini akan berlangsung lama bahkan hingga batas waktu yang diperebutkan berakhir.
Ketiga; Dalam sistem suara terbanyak apabila caleg yang meraih suara terbanyak memiliki nomor urut besar maka caleg yang memiliki nomor urut kecil harus sukarela mengundurkan diri sebagai caleg terpilih dengan konsekuensi kehilangan haknya dalam PAW. Dengan kata lain suara pemilihnya akan terbuang percuma.
Memang, partai masih mempunyai mekanisme Penggantian Alih Waktu (PAW) dengan jalan memecat kader yang membangkang namun, jalan ini akan memakan waktu yang sangat panjang dan menghabiskan waktu dan energi yang tidak sedikit. Pada pemilu 2004 yang lalu konflik seperti ini mendera Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyebabkan penetapan calon suara terbanyak terkatung-katung. Seperti kasus yang terjadi di Sumatera Barat dimana beberapa caleg yang mendapatkan suara terbanyak tidak dilantik hingga saat ini karena calon yang harus di PAW menduduki posisi ketua atau sekretaris partai. Padahal yang harus menandatangai proses PAW adalah ketua dan sekretaris parpol tersebut dan tentu saja mereka tidak rela di PAW atau paling tidak memperlambat proses PAW hingga batas waktu perebutan kursi berakhir.
Bagaimanapun juga sistem suara terbanyak sangat sesuai dengan semangat demokrasi. Oleh karena itu, untuk menghindari rumitnya konflik suara terbanyak ini dikemudian hari maka parpol, DPR dan pemerintah harus segera mengambil langkah antisipatif dengan melakukan amandemen terbatas UU Pemilu. Proses amandemen ini bila disepakati tidak akan menghabiskan waktu yang panjang karena hanya menyangkut pasal 214 antara lain dengan menambahkan klausul untuk mengakomodir mekanisme internal partai dalam menentukan caleg terpilih. Bila ini tidak dilakukan maka KPU/KPUD, parpol akan disibukkan oleh gugatan hukum caleg yang terjadi di seantero Indonesia.
Rabu, 05 November 2008
Pemilihan Umum Amerika Serikat
Oleh : Veni Judo A. Fatahillah (DivisiKajian Politik FP3SU)
Pemilihan Umum merupakan elemen yang sangat penting dan memang sudah seharusnya ia ada dalam sebuah wujud pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, pencantuman label demokrasi pada format politik sebuah Negara seakan menjadi sesuatu keharusan yang kemudian akan diikuti dengan pengimlementasiannya dalam kehidupan sosio-politik yang nyata yaitu salah satunya melalui penyelenggaraan Pemilihan Umum.( Parulian,1997:2 ).
Amerika Serikat sebagai sebuah Negara adidaya sudah barang tentu turut menerapkan Demokrasi sebagai sistem tatanan politiknya, denganb menyelenggarakan Pemilihan Umum sebagai saluran aspirasi politik warga negaranya. Dimana setiap warga Negara berhak untuk memilih dan dipilih serta menentukan wakil-wakilnya untuk duduk pada lembaga-lembaga pemerintahan. Amerika serikat yang menganut sistem Federal menerapkan sistem pemilihan secara langsung baik dalam pemilihan senator, House of representative ( Dewan Perwakilan Rakyat ), pemilihan presiden maupun pemilihan gubernur Negara bagian.
Yang menarik kemudian adalah metode pemilihan presiden di Amerika Serikat yang berbeda dengan pemilihan presiden di Negara-negara lain. Amerika memang menerapkan sistem yang agak rumit dan panjang sebelum sampai pada puncaknya, yakni hari pencoblosan pada 4 November 2004. Tahap pertama dimulai antara satu sampai dua tahun sebelum pemilu. Jadi, untuk pemilu 2004 persiapan paling tidak lebih telah dimulai sejak 2002. Dalam masa itu dibentuk komite khusus oleh masing-masing calon untuk mempelajari peta politik dan menggalang dana. Kampanye pemilu presiden AS merupakan salah satu yang termahal di dunia dan menelan biaya antara ratusan juta sampai satu miliar dolar lebih. Sebagian besar dana itu untuk pemasangan iklan dan perjalanan kampanye maraton ke sebanyak mungkin negara bagian yang dapat dikunjungi kandidat.
Pemilihan pendahuluan (primary) bertujuan menentukan calon-calon presiden. Primary adalah salah satu cara menominasikan kandidat yang akan dicalonkan dalam pemilu. Penyelenggaraan primary itu sendiri bermula dari gerakan progresif di Amerika Serikat. Primary diselenggarakan oleh pemerintah, selaku penerima mandat partai-partai. Di negara lain, nominasi kandidat biasanya berlangsung secara internal dan tidak melibatkan aparatur publik.(www.suaramerdeka.com,15/03/08).
Selain Primary, cara lain untuk memilih kandidat adalah melalui Kaukus, konvensi dan pertemuan-pertemuan nominasi. Kaukus juga untuk memilih para calon. Namun, kaukus sangat berbeda dengan primary. Kaukus adalah pertemuan di daerah pemilihan dengan diisi debat mengenai platform dan isu kampanye masing-masing partai. Kalau primary digelar oleh pemerintah, kaukus dilaksanakan oleh kelompok sipil, misalnya kelompok media, organisasi nonpemerintah, dan sebagainya.
Bentuk primary mirip pemilihan umum, yakni dengan coblosan, sedangkan pemungutan suara pada kaukus tergantung pada ketentuan masing-masing penyelenggaraan. Hanya 12 negara bagian yang menggunakan model kaukus, yakni Iowa, New Mexico, North Dakota, Maine, Nevada, Hawaii, Minnesota, Kansas, Alaska, Wyoming, Colorado dan District of Columbia.
Istilah ''masa primary'' merujuk pada primary dan juga kaukus, yakni diawali dengan Kaukus Iowa dan berakhir dengan Primary Montana pada 3 Juni. Kemudian, digelar konvensi partai untuk menetapkan calon presiden. Konvensi itu bertujuan meratifikasi hasil pemilihan pada primary dan kaukus. Delegasi untuk konvensi partai juga dipilih pada primary, kaukus negara bagian, dan konvensi negara bagian. Calon presiden ditentukan berdasarkan perolehan mayoritas delegasi untuk memenangi nominasi partai mereka. Calon presiden itulah yang akan mengajukan calon wakil presiden.
Meski rakyat Amerika memilih secara langsung calon presiden mereka, dimana nama-nama kandidat yang ada tercantum pada kertas suara. Namun secara teknis sebenarnya rakyat amerika tidak memilih presiden dan wakil presidennya secara langsung. Sebaliknya yang ada para pemilih dari masing-masing negara bagian memilih daftar para calon wakil negara bagian yang masing-masing telah disiapkan oleh para kandidat untuk menjadi anggota dewan elektoral yang kemudian akan memilih presisden dan wakil presiden yang jumlahnya sesuai dengan jumlah senator serta perwakilan negara bagian itu di kongres. Electoral College adalah dewan pemilih yang akan memilih presiden. Anggotanya dipilih oleh rakyat pada hari pemilu. Para utusan itu sudah berjanji di awal untuk memilih kandidat tertentu. .( www.suaramerdeka.com,15/03/08 ).
Kandidat yang memiliki jumlah suara yang paling banyak di masing-masing negara bagian berarti memenangkan pemilihan wakil mereka yang akan memilih calon presiden mereka dari negra bagian tersebut. Jumlah utusan pada dewan pemilih itu adalah dua orang ditambah jumlah anggota DPR dari masing-masing negara bagian tersebut. Sehingga, beberapa negara bagian memiliki jumlah utusan terbanyak, seperti misalnya, Florida, dan menjadi sangat menentukan dalam pemenangan pemilu. Dengan demikian, pemilihan presiden dan wakil presiden sebenarnya adalah pemilu tidak langsung, karena pemenangnya ditentukan oleh suara para pemilih dalam Electoral College.
Para wakil negara bagian yang telah terpilih dari ke 50 negara bagian ditambah dengan Distrik Columbia yang seluruhnya berjumlah 538 orang, kemudian membentuk apa yang disebut dengan Electoral College ( Dewan Elektoral )yang bertugas untuk memilih Presiden dan wakil presiden sesuai dengan amanat konstitusi amerika. Walaupun sebagai sebuah badan khusus, namun secara teknis elektoral college bukanlah sebuah lembaga negara. Ia hanya dibentuk saat pemilihan presiden dan wakil presiden amerika. (Targonski, 2000: 49)
Para elector yang dipilih mewakili dan mencerminkan perolehan suara setiap calon presiden di negara bagian yang bersangkutan. Untuk menjaga bahwa Electoral College itu tidak melembaga, tidak berfungsi lebih dari hanya untuk memilih presiden dan wakil presiden, mereka tidak berkumpul di satu tempat, melainkan di ibu kota masing-masing negara bagian, untuk memutuskan siapa yang akan menjadi presiden (Electoral College). Hasil pemilihan tadi dibawa ke Kongres untuk disahkan. Jika ada masalah dalam proses pemilihan oleh para elector atau yang menyangkut para elector itu sendiri, persoalan itu juga dibawa ke dan diputuskan Kongres. ( www.gatra.com,15/03/08 )
Pada hari pencoblosan, rakyat memilih dua kali. Pertama, untuk memilih calon presiden favorit. Kedua, untuk memilih utusan berjumlah 538 yang mewakili 50 negara bagian. Utusan inilah yang berhak memilih presiden. Jadi, pilihan rakyat hanya berguna untuk menentukan popularitas kandidat.
Oleh : Veni Judo A. Fatahillah
Pemilihan Umum merupakan elemen yang sangat penting dan memang sudah seharusnya ia ada dalam sebuah wujud pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, pencantuman label demokrasi pada format politik sebuah Negara seakan menjadi sesuatu keharusan yang kemudian akan diikuti dengan pengimlementasiannya dalam kehidupan sosio-politik yang nyata yaitu salah satunya melalui penyelenggaraan Pemilihan Umum.( Parulian,1997:2 ).
Amerika Serikat sebagai sebuah Negara adidaya sudah barang tentu turut menerapkan Demokrasi sebagai sistem tatanan politiknya, denganb menyelenggarakan Pemilihan Umum sebagai saluran aspirasi politik warga negaranya. Dimana setiap warga Negara berhak untuk memilih dan dipilih serta menentukan wakil-wakilnya untuk duduk pada lembaga-lembaga pemerintahan. Amerika serikat yang menganut sistem Federal menerapkan sistem pemilihan secara langsung baik dalam pemilihan senator, House of representative ( Dewan Perwakilan Rakyat ), pemilihan presiden maupun pemilihan gubernur Negara bagian.
Yang menarik kemudian adalah metode pemilihan presiden di Amerika Serikat yang berbeda dengan pemilihan presiden di Negara-negara lain. Amerika memang menerapkan sistem yang agak rumit dan panjang sebelum sampai pada puncaknya, yakni hari pencoblosan pada 4 November 2004. Tahap pertama dimulai antara satu sampai dua tahun sebelum pemilu. Jadi, untuk pemilu 2004 persiapan paling tidak lebih telah dimulai sejak 2002. Dalam masa itu dibentuk komite khusus oleh masing-masing calon untuk mempelajari peta politik dan menggalang dana. Kampanye pemilu presiden AS merupakan salah satu yang termahal di dunia dan menelan biaya antara ratusan juta sampai satu miliar dolar lebih. Sebagian besar dana itu untuk pemasangan iklan dan perjalanan kampanye maraton ke sebanyak mungkin negara bagian yang dapat dikunjungi kandidat.
Pemilihan pendahuluan (primary) bertujuan menentukan calon-calon presiden. Primary adalah salah satu cara menominasikan kandidat yang akan dicalonkan dalam pemilu. Penyelenggaraan primary itu sendiri bermula dari gerakan progresif di Amerika Serikat. Primary diselenggarakan oleh pemerintah, selaku penerima mandat partai-partai. Di negara lain, nominasi kandidat biasanya berlangsung secara internal dan tidak melibatkan aparatur publik.(www.suaramerdeka.com,15/03/08).
Selain Primary, cara lain untuk memilih kandidat adalah melalui Kaukus, konvensi dan pertemuan-pertemuan nominasi. Kaukus juga untuk memilih para calon. Namun, kaukus sangat berbeda dengan primary. Kaukus adalah pertemuan di daerah pemilihan dengan diisi debat mengenai platform dan isu kampanye masing-masing partai. Kalau primary digelar oleh pemerintah, kaukus dilaksanakan oleh kelompok sipil, misalnya kelompok media, organisasi nonpemerintah, dan sebagainya.
Bentuk primary mirip pemilihan umum, yakni dengan coblosan, sedangkan pemungutan suara pada kaukus tergantung pada ketentuan masing-masing penyelenggaraan. Hanya 12 negara bagian yang menggunakan model kaukus, yakni Iowa, New Mexico, North Dakota, Maine, Nevada, Hawaii, Minnesota, Kansas, Alaska, Wyoming, Colorado dan District of Columbia.
Istilah ''masa primary'' merujuk pada primary dan juga kaukus, yakni diawali dengan Kaukus Iowa dan berakhir dengan Primary Montana pada 3 Juni. Kemudian, digelar konvensi partai untuk menetapkan calon presiden. Konvensi itu bertujuan meratifikasi hasil pemilihan pada primary dan kaukus. Delegasi untuk konvensi partai juga dipilih pada primary, kaukus negara bagian, dan konvensi negara bagian. Calon presiden ditentukan berdasarkan perolehan mayoritas delegasi untuk memenangi nominasi partai mereka. Calon presiden itulah yang akan mengajukan calon wakil presiden.
Meski rakyat Amerika memilih secara langsung calon presiden mereka, dimana nama-nama kandidat yang ada tercantum pada kertas suara. Namun secara teknis sebenarnya rakyat amerika tidak memilih presiden dan wakil presidennya secara langsung. Sebaliknya yang ada para pemilih dari masing-masing negara bagian memilih daftar para calon wakil negara bagian yang masing-masing telah disiapkan oleh para kandidat untuk menjadi anggota dewan elektoral yang kemudian akan memilih presisden dan wakil presiden yang jumlahnya sesuai dengan jumlah senator serta perwakilan negara bagian itu di kongres. Electoral College adalah dewan pemilih yang akan memilih presiden. Anggotanya dipilih oleh rakyat pada hari pemilu. Para utusan itu sudah berjanji di awal untuk memilih kandidat tertentu. .( www.suaramerdeka.com,15/03/08 ).
Kandidat yang memiliki jumlah suara yang paling banyak di masing-masing negara bagian berarti memenangkan pemilihan wakil mereka yang akan memilih calon presiden mereka dari negra bagian tersebut. Jumlah utusan pada dewan pemilih itu adalah dua orang ditambah jumlah anggota DPR dari masing-masing negara bagian tersebut. Sehingga, beberapa negara bagian memiliki jumlah utusan terbanyak, seperti misalnya, Florida, dan menjadi sangat menentukan dalam pemenangan pemilu. Dengan demikian, pemilihan presiden dan wakil presiden sebenarnya adalah pemilu tidak langsung, karena pemenangnya ditentukan oleh suara para pemilih dalam Electoral College.
Para wakil negara bagian yang telah terpilih dari ke 50 negara bagian ditambah dengan Distrik Columbia yang seluruhnya berjumlah 538 orang, kemudian membentuk apa yang disebut dengan Electoral College ( Dewan Elektoral )yang bertugas untuk memilih Presiden dan wakil presiden sesuai dengan amanat konstitusi amerika. Walaupun sebagai sebuah badan khusus, namun secara teknis elektoral college bukanlah sebuah lembaga negara. Ia hanya dibentuk saat pemilihan presiden dan wakil presiden amerika. (Targonski, 2000: 49)
Para elector yang dipilih mewakili dan mencerminkan perolehan suara setiap calon presiden di negara bagian yang bersangkutan. Untuk menjaga bahwa Electoral College itu tidak melembaga, tidak berfungsi lebih dari hanya untuk memilih presiden dan wakil presiden, mereka tidak berkumpul di satu tempat, melainkan di ibu kota masing-masing negara bagian, untuk memutuskan siapa yang akan menjadi presiden (Electoral College). Hasil pemilihan tadi dibawa ke Kongres untuk disahkan. Jika ada masalah dalam proses pemilihan oleh para elector atau yang menyangkut para elector itu sendiri, persoalan itu juga dibawa ke dan diputuskan Kongres. ( www.gatra.com,15/03/08 )
Pada hari pencoblosan, rakyat memilih dua kali. Pertama, untuk memilih calon presiden favorit. Kedua, untuk memilih utusan berjumlah 538 yang mewakili 50 negara bagian. Utusan inilah yang berhak memilih presiden. Jadi, pilihan rakyat hanya berguna untuk menentukan popularitas kandidat.
Oleh : Veni Judo A. Fatahillah
Fenomena Terakhir Konflik Nuklir Iran dengan Amerika
Oleh : Choky Nasution (Koord.Program FP3SU)
Sebuah negara di Timur Tengah yang letaknya diapit oleh dua belah negara yang mengalami konflik dalam negri (Afghanistan dan Iraq), saat ini sedang menjadi sorotan mata dunia. Banyaknya media baik itu elekronik dan cetak di seluruh negara di belahan dunia ini membahas dan menganalisa tentang apa ang sebenarnya terjadi di negara yang juga sering disebut dengan negara kaum Mullah. Negara yang berpenduduk sekitar 76 juta jiwa ini seakan-akan menjelma sebagai sebuah kekuatan baru dunia. Negara apa yang sebenarnya dimaksudkan ?. Negara mana lagi kalau bukan Republik Islam Iran.
Republik Islam Iran, negara yang dahulu dipimpin oleh seorang diktator boneka Syah Reza Pahlevi berubah menjadi sebuah negara yang mandiri, baik itu mandiri dalam hal politik, ekonomi, dan banyak lagi hal yang lainnya. Kemajuan yang di miliki Iran saat ini tidak bisa terlepas dari sebuah sejarah besar yaitu Revolusi Islam Iran dan sosok Ayatullah Rohullah Khomeini. Pasca Revolusi Islam, negara ini mulai berbenah dan mengembangkan semua hal yang berkaitan dengan Industrialisasi. Perkembangan industri dikembangkan terus menuju arah yang modern. Iran dan pengaruhnya yang besar saat ini di Timur Tengah dan memiliki hubungan baik dengan negara-negara Amerika Selatan (Blok Venezuela, Bolivia dan Nikaragua) diharapkan bisa mengimbangi dominasi negara-negara barat. Tetapi hal ini pula yang menjadi sorotan negara-negara barat saat. Bukan sorotan yang didapat Iran tetapi malah sorotan yang negatif. Iran dituduh melakukan industri pengayaan uranium yang di sinyalir akan dipergunakan untuk membuat senjata nuklir. Amerika Serikat sebagai negara Adidaya yang paling gencar ”menyerang” Iran. Amerika dengan negara-negara sekutunya mendorong badan dunia (PBB) untuk segera Iran mengakhiri produksi uraniumnya.
Sejarahnya, produksi uranium Iran di mulai dari zaman Syah Reza Pahlevi. Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang mendorong Iran pada waktu itu. Industri uranium di peruntukkan untuk tenaga listrik dan hal ini terus dilakukan sampai dengan masa pemerintahan Mahmoud Ahmaddinejad. Serangan-serangan Amerika Serikat terhadap Iran di tanggapi dengan pernyataan-pernyataan yang resistence oleh Ahmaddinejad. Ahmaddinejad menganggap Amerika Serikat melakukan fitnah besar terhadap Iran. Dalam berbagai pernyataannya Presiden Ahmaddinejad menantang Amerika dan sekutunya untuk membuktikan tuduhan tersebut. Presiden Iran ini juga mengutarakan hal-hal yang tidak menyenagkan buat Amerika Serikat, seperti akan membumi hanguskan Israel dari peta dunia dan akan segera mengakhiri masa kedigdayaan Amerika Serikat sebagai pemimpin dunia. Konflik ini makin meruncing ketika Amerika Serikat G.W. Bush megatakan bahwa solusi untuk mengakhiri konflik ini tidak tertutup kemungkinan hal yang sama dialami Iraq akan dilakukan terhadap Iran.
Sebuah negara di Timur Tengah yang letaknya diapit oleh dua belah negara yang mengalami konflik dalam negri (Afghanistan dan Iraq), saat ini sedang menjadi sorotan mata dunia. Banyaknya media baik itu elekronik dan cetak di seluruh negara di belahan dunia ini membahas dan menganalisa tentang apa ang sebenarnya terjadi di negara yang juga sering disebut dengan negara kaum Mullah. Negara yang berpenduduk sekitar 76 juta jiwa ini seakan-akan menjelma sebagai sebuah kekuatan baru dunia. Negara apa yang sebenarnya dimaksudkan ?. Negara mana lagi kalau bukan Republik Islam Iran.
Republik Islam Iran, negara yang dahulu dipimpin oleh seorang diktator boneka Syah Reza Pahlevi berubah menjadi sebuah negara yang mandiri, baik itu mandiri dalam hal politik, ekonomi, dan banyak lagi hal yang lainnya. Kemajuan yang di miliki Iran saat ini tidak bisa terlepas dari sebuah sejarah besar yaitu Revolusi Islam Iran dan sosok Ayatullah Rohullah Khomeini. Pasca Revolusi Islam, negara ini mulai berbenah dan mengembangkan semua hal yang berkaitan dengan Industrialisasi. Perkembangan industri dikembangkan terus menuju arah yang modern. Iran dan pengaruhnya yang besar saat ini di Timur Tengah dan memiliki hubungan baik dengan negara-negara Amerika Selatan (Blok Venezuela, Bolivia dan Nikaragua) diharapkan bisa mengimbangi dominasi negara-negara barat. Tetapi hal ini pula yang menjadi sorotan negara-negara barat saat. Bukan sorotan yang didapat Iran tetapi malah sorotan yang negatif. Iran dituduh melakukan industri pengayaan uranium yang di sinyalir akan dipergunakan untuk membuat senjata nuklir. Amerika Serikat sebagai negara Adidaya yang paling gencar ”menyerang” Iran. Amerika dengan negara-negara sekutunya mendorong badan dunia (PBB) untuk segera Iran mengakhiri produksi uraniumnya.
Sejarahnya, produksi uranium Iran di mulai dari zaman Syah Reza Pahlevi. Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang mendorong Iran pada waktu itu. Industri uranium di peruntukkan untuk tenaga listrik dan hal ini terus dilakukan sampai dengan masa pemerintahan Mahmoud Ahmaddinejad. Serangan-serangan Amerika Serikat terhadap Iran di tanggapi dengan pernyataan-pernyataan yang resistence oleh Ahmaddinejad. Ahmaddinejad menganggap Amerika Serikat melakukan fitnah besar terhadap Iran. Dalam berbagai pernyataannya Presiden Ahmaddinejad menantang Amerika dan sekutunya untuk membuktikan tuduhan tersebut. Presiden Iran ini juga mengutarakan hal-hal yang tidak menyenagkan buat Amerika Serikat, seperti akan membumi hanguskan Israel dari peta dunia dan akan segera mengakhiri masa kedigdayaan Amerika Serikat sebagai pemimpin dunia. Konflik ini makin meruncing ketika Amerika Serikat G.W. Bush megatakan bahwa solusi untuk mengakhiri konflik ini tidak tertutup kemungkinan hal yang sama dialami Iraq akan dilakukan terhadap Iran.
Langganan:
Postingan (Atom)